Isu seks bebas semakin mengemuka dalam kehidupan masyarakat modern, terutama di kalangan remaja. Akses terhadap informasi tentang seks kini tersedia secara luas melalui berbagai media—dari media sosial, artikel edukatif, hingga konten digital. Namun, tidak semua remaja memiliki akses yang setara terhadap informasi tersebut. Salah satu kelompok yang kerap terpinggirkan adalah anak-anak dengan hambatan penglihatan.
Anak dengan hambatan penglihatan, yaitu mereka yang mengalami gangguan penglihatan sebagian (Low Vision) maupun total sering kali kurang mendapatkan akses informasi yang memadai mengenai kesehatan reproduksi. Informasi yang tersedia umumnya disampaikan secara visual, tanpa dilengkapi dengan media atau metode yang sesuai dengan kebutuhan mereka, seperti narasi audio, media taktil, atau pendampingan individual. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya pemahaman dan kesadaran terhadap risiko-risiko seksual, seperti pergaulan bebas, kekerasan seksual, serta penyakit menular seksual, yang pada akhirnya dapat mengancam kesehatan fisik dan psikis mereka. Di sisi lain, masih banyak guru, orang tua, dan tenaga kesehatan yang merasa tabu atau tidak siap untuk memberikan edukasi kesehatan reproduksi kepada anak-anak, terlebih kepada anak yang berkebutuhan khusus. Padahal, pendekatan edukatif yang tepat dan inklusif sangat penting untuk membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan agar dapat menjaga diri secara mandiri.
Berangkat dari kepedulian tersebut, Kelompok Pendidikan Kekerasan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) Universitas Pendidikan Indonesia, yang terdiri dari mahasiswa didik Pendidikan Khusus angkatan 2022—Alya Farsya Awliya, Dian Widiyanti, Roi Hatul Jannah, Sela Putri Aulia, Tegar Refulton Galih Nugraha, Wanda Dwi Rahayu, dan Wilda Rahmadani Siregar—melaksanakan kegiatan edukasi seks bebas yang inklusif bagi anak-anak dengan hambatan penglihatan di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Bandung.
Hasil asesmen awal menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik yang belum memahami fungsi cairan tubuh dari organ reproduksi laki-laki, belum menyadari bahaya seks bebas, dan belum mengenal risiko penyakit menular seksual serta cara pencegahannya. Fakta ini menggarisbawahi pentingnya intervensi pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan sensorik mereka.
Untuk itu, kelompokmerancang sebuah program edukasi dengan pendekatan multisensori. Materi disampaikan melalui kombinasi media audio dan taktil agar pembelajaran lebih konkret dan bermakna. Salah satu metode yang diterapkan adalah penggunaan media simulatif yang aman disentuh, berfungsi memperkenalkan tekstur dari cairan tubuh—sebagai cara membangun pemahaman tentang fungsi dan risiko organ reproduksi.
Selain itu, narasi audio digunakan untuk menjelaskan bahaya seks bebas, ciri-ciri penyakit pada organ reproduksi, serta langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan. Penyampaian materi dilakukan secara deskriptif dan interaktif, menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami peserta didik. Para peserta didik juga dilibatkan secara aktif dalam diskusi dan kegiatan praktik, sehingga pembelajaran tidak bersifat satu arah.
Hasil dari implementasi program edukatif mengenai seks bebas ini menunjukkan peningkatan pemahaman yang signifikan. Peserta didik yang sebelumnya merasa asing terhadap topik-topik seperti cairan tubuh, penyakit menular seksual, dan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, kini mulai mampu menjelaskannya kembali. Mereka juga mulai menunjukkan keberanian dalam bertanya dan berdiskusi, yang menjadi indikator bahwa materi telah dipahami dan diterima secara aktif.
Temuan ini menegaskan bahwa ketika materi pendidikan disampaikan dengan pendekatan yang sesuai dan ramah terhadap kebutuhan sensorik peserta didik, maka pembelajaran menjadi lebih efektif. Edukasi seksual bukan sekadar transfer informasi, tetapi sebuah langkah perlindungan diri dan pemenuhan hak anak untuk memahami tubuhnya sendiri.
Setiap anak berhak untuk memperoleh informasi yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya, termasuk dalam hal pendidikan seksual. Melalui pendekatan multisensori yang inklusif, anak-anak dengan hambatan penglihatan tidak lagi menjadi kelompok yang terabaikan dalam isu krusial ini. Edukasi yang adaptif dan empatik tidak hanya memberi pemahaman, tetapi juga memberdayakan mereka untuk melindungi diri secara mandiri di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI