Hadirnya topik pilihan Kompasiana tentang utang keluarga membuat saya bersemangat untuk berbagi cerita. Sebuah kisah yang kerap dialami bahkan baru saja kemarin sore ada kejadian yang membuat saya harus berkali-kali menghela napas panjang.
Sejak menikah, saya dan pasangan sudah berkomitmen untuk tidak membiasakan diri berutang meskipun untuk kebutuahan keluarga. Prinsip kami adalah, nabung dulu sebelum membeli jika ada sesuatu yang diinginkan.
Pengelolaan keuangan dibuat serinci mungkin. Biaya kebutuhan harian, pendidikan anak, sampai pada membiasakan menyisihkan uang untuk dana kesehatan, hiburan dan dana kebutuhan tak terduga meskipun hanya sedikit setiap bulannya.
Mengapa sedetail itu? Jawabannya adalah karena kami sadar betul jika penghasilan kami tidak sebesar mereka yang bisa pergi pelesir kemana saja ketika ingin. Tidak seperti mereka yang tiap hari makan di luar dengan hidangan yang lezat dan beragam di restoran mewah.
Ya, penghasilan kami harus benar-benar cukup untuk membiayai kebutuhan tanpa harus menyisakan utang keluarga. Apakah cukup? Tentu saja bisa, jika dimanage dengan baik. Namanya juga uang, cukup atau tidak tergantung pada pola dan gaya yang digunakan oleh pemiliknya. Sedikit bisa cukup, banyak apalagi. Kalau pandai mengelola dan menakar prioritas maka akan baik-baik saja. Sebaliknya, di tangan orang yang dikuasai hawa nafsu, besar atau kecil pasti akan tetap habis dan kurang juga.
Kembali kepada cerita soal utang keluarga. Kemarin sore, seseorang (masih ada jalinan kerabat jauh) datang dengan dalih silaturahmi. "Sudah lama tidak main ke sini," katanya.
Entah mengapa, saya yang terlalu terbiasa dengan sinyal-sinyal "peminjam uang" sudah langsung pasang kuda-kuda dong. Orang yang jarang berkunjung tiba-tiba berkunjung, orang yang jarang menyapa tiba-tiba baik-baikin, jadinya mencurigakan. Belum lagi, sekitar dua pekan lalu suami memberikan kabar bahwa ketika saya tidak di rumah, orang yang sama telah meminjam sejumlah uang untuk bayar arisan. Suami memberinya karena kasian dan kebetulan sedang ada uang.
Telinga, mata apalagi batin saya tidak bisa dibohongi dengan alur pembicaraan yang memiliki maksud tertentu. Kalaupun memang sudah lama tidak silaturahmi, bukan begitu gestur dan tutur katanya, batin saya.
Ia ngobrol ngaler ngidul. Telinga saya sudah siap mendengar prasa pamungkas, "pinjam dulu seratus," atau sejenisnya. Namun ia tidak kunjung mengatakannya. Sampai saya merasa sedikit bosan. Nampaknya ia harus berhati-hati karena baru saja pinjam pada suami waktu lalu dan belum mengembalikan.
Anda pikir saya tidak tahu, batin saya lagi.