Hayam Wuruk
Raden Tetep atau yang lebih dikenal dengan Hayam Wuruk, putra Tribhuwana Wijayatunggadewi  dan Kertawardhana Bhre Tumapel merupakan cucu dari Kertajasa Jayawardhana pendiri raja pertama Majapahit dan Gayatri.Â
Semasa kelahiran Hayam Wuruk, terjadi peristiwa meletusnya Gunung Kelud dan gempa bumi serta ditandai dengan adanya pengikraran Sumpah Palapa oleh Patih Amangkubhumi Gajah Mada atau lebih dikenal dengan Patoh Gajah Mada.Â
Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja pada saat umur 17 tahun sesudah sang ibu Tribhuwana Wijayatunggadewi turun takhta pada tahun 1551. Hayam Wuruk memerintah Majapahit selama 39 tahun dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara.Â
Selain sebagai raja, beliau juga seorang penari, dalang, dan pelawak dalam wayang. Hayam Wuruk memiliki permaisuri dan selir. Nama permaisuri dari Hayam Wuruk adalah Sri Sudewi yang merupakan putri Wijayarajasa Bhre Wengker dan memiliki putri yang bernama Kusumawardhani. Selain memiliki putri, Hayam wuruk juga memiliki seorang putra dari pernikahan dengan selirnya bernama Bhre Wirabhumi.Â
Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit memiliki struktur pemerintahn dan birokrasi yang teratur. Semasa beliau menjalankan pemerintahan, Hayam Wuruk dibantu oleh para menteri yang merupakan kerabat dekat kerajaan dan raja-raja dari kerajaan yang tunduk dibawah kepemimpinan Majapahit.
Majapahit mencapai puncak kejayaan semasa Hayam Wuruk serta Patih Gajah Mada yang membantu beliau dan melaksanakan sumpah yang ia ucapkan sebelumnya.Â
Puncak kejayaannya diantara lain perluasan wilayah hingga ke negeri seberang, memiliki armada laut yang sangat kuat, perekonomian yang kuat serta hukum yang ditegakkan secara adil tanpa memandang status sosial. Banyak negara-negara asing yang bekerjasama dengan Majapahit seperti Cina, Mongol, India dan Arab. Terjadi pertukaran hingga penggabungan budaya yang terjadi pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.Â
Perang Bubat (Awal perselisihan antara Jawa dengan Sunda)
"orang jawa jangan nikah sama orang sunda"
Mungkin kalian pernah mendengar kata diatas yang sering diucapkan oleh keluarga atau tetangga terutama orang Jawa. Mitos tersebut diyakini jika orang jawa menikah dengan orang sunda mereka tidak akan pernah bahagia dan kemalangan akan menimpa terus-menerus. Mitos tersebut muncul dengan terjadinya Perang Bubat, perang yang terjadi antara Majapahit dengan kerajaan Sunda Galuh.Â
Pada masa itu, Patih Gajah Mada berambisi untuk menaklukan semua wilayah nusantara dibawah kerajaan Majapahit termasuk dua kerajaan sunda yakni Sunda Galuh dan Sunda Pakuan.Â
Pandangan Gajah  Mada terhadap kedua kerajaan tersebut ingin menyatukan kedua kerajaan dibawah kepemimpinan Majapahit namun pandangan ia bertentangan dengan pandangan pihak istana. Pihak istana berpendapat bahwa Kerajaan Sunda masih kerabat sendiri dengan Majapahit. Setelah berunding, Hayam Wuruk lebih condong ke pihak istana dibanding Gajah Mada.
Setelah perundingan sebelumnya dan sebelum Hayam Wuruk menikah dengan Sri Sudewi dan selirnya, Hayam Wuruk berhasrat mencari seorang permaisuri untuk mendampingi dirinya. Dikirimlah juru gambar untuk melukis putri-putri dari kalangan kerajaan bawah maupun kerajaan tetangga. Setelah dilukis oleh juru gambar, tidak ada yang berhasil menarik hati Hayam Wuruk.
Keesokkan harinya, dikirimlah juru gambar ke Kerajaan Sunda untuk melukis Dyah Pitaloka Citraresmi yang merupakan putri dari Prabu Maharaja Linggabuana. Menurut cerita yang tersebar, kecantikkan Dyah Pitaloka tersebar kemana-mana sementara Patih Gajah Mada memiliki tujuan tersendiri lalu menyusupkan beberapa orang yang ia percayai untuk menemani sang juru gambar ke Kerajaan Sunda. Sampai di Kerajaan Sunda, juru gambar langsung melukis Dyah Pitaloka dan orang kepercayaan Gajah Mada menyampaikan agar Sunda tunduk pada pemerintahan Majapahit.
Setelah kembali dari Sunda, sang juru gambar memberikan lukisan Dyah Pitaloka kepada Hayam Wuruk. Hayam Wuruk tertarik hingga berniat untuk meminang putri Prabu Linggabuana tersebut untuk menjadi permaisurinya.Â
Hayam Wuruk mengirim surat kepada Prabu Linggabuana dengan maksud untuk meminang sang putri melalui perantara yaitu Tuan Anepaken beserta rombongan dengan membawa berbagai macam untuk meminang sang putri.Â
Sesampai di Kerajaan Sunda, rombongan dari Majapahit menyerahkan seserahan dan membahas taggal serta tempat pesta pernikahan. Setelah pertemuan antara sang Prabu dengan rombongan Majapahit telah disetujui bahwa pesta pernikahan akan diadakan di Ibukota Majapahit yaitu Trowulan.
Sesudah menerima pinangan Hayam Wuruk, Prabu Linggabuana beserta permaisuri, bangsawan istana serta rombongan yang lain pergi ke Majapahit untuk mengantar Dyah Pitaloka sekaligus melaksanakan perkawinan di Majapahit.Â
Rombongan Kerajaan Sunda berangkat melalui Galuh dan sesampai di pantai, mereka menyaksikan air laut berwarna merah yang melambangkan bahwa mereka tidak bisa kembali ke tanah sunda. Namun mereka menghiraukan perlambang tersebut dan tetap melanjutkan ke Majapahit.Â
Rombongan Sunda tiba di Pesanggrahan Bubat datanglah utusan Patih Gajah Mada menyampaikan pesan bahwa Dyah Pitaloka Citraresmi diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda Kerajaan Sunda takluk pada Majapahit.Â
Prabu Linggabuana merasa harga dirinya terinjak-injak namun ia tidak bertindak gegabah dan tidak ingin terjadi peperangan ditempat tersebut. Akan tetapi, rombongan lain terutama prajurit Prabu Linggabuana tersulut api emosi dan merasa terinjak-injak.Â
Mereka mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai pengantin bukan sebagai tanda takluk kerajaan mereka terhadap Majapahit. Hayam Wuruk merasa bimbang dengan kesalahpahaman tersebu. Ia ingin membantah pernyataan sang patih namun hanya Gajah Mada yang dapat ia andalkan.
Sebelum Hayam Wuruk memberi keputusan, Gajah Mada mengerahkan seluruh pasukan ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Sunda jika tidak tunduk kepada Majapahit. Linggabuana menolak dan perang pun terjadi. Rombongan Sunda yang tidak siap perang pun terpaksa menghunuskan pedang mereka sehingga mengakibatkan peperangan yang tidak seimbang antara Majapahit dengan Sunda.
Suasana perang semakin mencekam dimana pasukan Sunda dikepung oleh pasukan Gajah Mada dari segala arah. Perang tersebut berhasil dimenangkan oleh Majapahit dan Prabu Linggabuana gugur di medan perang beserta para menteri dan kerabat Kerajaan Sunda. Dyah Pitaloka yang melihat ayahnya gugur pun bunuh diri dan seluruh rombongan tersebut gugur.
Hayam Wuruk menyesali atas insiden tersebut. Kemudian, ia mengirim utusannya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada pejabat yang tidak mengikuti ke Majapahit. Akibat perang tersebut, hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Setelah perang tersebut di Kerajaan Sunda diberlakukan peraturan dilarang menikah diluar lingkungan kerabat sunda atau dengan pihak timur Kerajaan Sunda (Majapahit).Â
Kemunduran Majapahit dan Kemangkatan Gajah Mada
Setelah kejadian Perang Bubat, Gajah Mada mangkat atau melepas jabatan sebagai patih. Hayam Wuruk merasa kehilangan dimana seorang yang selalu ia andalkan tidak lagi membantunya. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil para menteri dan kerabat untuk menggantikan posisi Gajah Mada sebelumnya sebagai patih.Â
Keputusan rapat tersebut diputuskan bahwa tidak ada yang bisa menggantikan Gajah Mada. Akhirnya setelah 3 tahun Gajah Mada mangkat, Gajah Enggon mengisi posisi tersebut dan menjadi penerus Gajah Mada. Kemunduran Majapahit semakin terlihat ketika Tribhuwana Wijayatunggadewi mangkat disusul oleh putranya yaitu Hayam Wuruk.Â
Posisi Hayam Wuruk digantikan oleh menantunya yaitu Wikramawardhana dan semasa pemerintahan Wikramawardhana terjadi peperangan dimana-mana. Perang terbesar yang terjadi adalah Perang Paregreg (perang antar saudara).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI