Beberapa silam lalu, media sosial sempat dihebohkan dengan perdebatan "generasi sandwich". Bahkan, mungkin, perdebatan itu tidak akan surut sampai generasi Z melahirkan anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
Dikutip dari berbagai sumber, generasi sandwich adalah sebutan bagi orang dewasa yang harus ikut menanggung hidup generasi sebelumnya dan sesudahnya. Dalam arti lain, mereka dituntut untuk membiayai orang tua, dirinya sendiri, serta anaknya. Kondisi tersebut diibaratkan seperti sandwich dimana sepotong daging (diri sendiri) terhimpit oleh dua buah roti (orang tua dan anaknya). Sontak pro dan kontra bermunculan menanggapi isu ini.
Kita lupakan sejenak persoalan generasi sandwich yang harus menanggung hidup diri sendiri dan anak, karena (anggap saja) semua sepakat bahwa dua generasi tersebut adalah tanggung jawab kita. Lalu, bagaimana dengan anak yang menanggung hidup orang tua? Tentu tidak semua orang setuju, justru kondisi inilah yang masih diperdebatkan oleh banyak orang.
Berangkat dari permasalahan tersebut, di sini saya ingin berasumsi mengenai topik bersangkutan. Tulisan ini murni opini saya, maka tidak ada yang benar atau salah. Semua tergantung perspektif masing-masing kepala, oke? Sepakat?
Jika disuruh memilih pro atau kontra, saya ada di pihak mana?
Kalau boleh, saya ada di pihak dua-duanya, tetapi dengan pertimbangan yang berbeda.
Saya kontra jika anak "dituntut" untuk menanggung hidup orang tua. Dituntut mengacu pada: dipaksa, diminta, ditagih. Pokoknya, orang tua menuntut anak agar ia mencukupi kebutuhannya. Lebih menyedihkan lagi, jika orang tua melahirkan anak dengan tujuan "agar ada yang membiayai masa tuanya". Secara tidak langsung anak dijadikan investasi, bukan?
Anak yang gajinya tidak seberapa, akhirnya harus mengalah jika kebutuhannya sendiri tidak terpenuhi demi memenuhi kebutuhan orang tua. Apakah itu perbuatan yang mulia? Jelas! Namun, poinnya ada pada "keegoisan" orang tua yang sengaja menggantungkan hidup pada anak.
Ketika anak merasa tidak sanggup, timbulah narasi, "kamu itu kita yang biayain, kita yang rawat, kita yang besarin, jadi seharusnya kamu berhutang budi!"
Dari situlah statement "anak nggak minta dilahirkan" muncul. Memang benar, tidak ada anak yang minta untuk dilahirkan, dinafkahi, dibesarkan. Anak lahir karena tindakan orang tuanya sendiri baik secara disengaja maupun tidak. Setiap tindakan ada konsekuensi dan tanggung jawab, bukan? Nah, merawat dan membesarkan anak adalah bentuk dari tanggung jawab (kewajiban) orang tua sekaligus hak anak. Jadi, tidak seharusnya kewajiban tersebut dijadikan senjata agar anak berhutang budi.
Ngomong-ngomong soal kewajiban, anak juga punya kewajiban untuk berbakti pada orang tua, dong? Tentu! Membiayai hidup orang tua adalah salah satu bentuk bakti anak pada orang tuanya. Maka dari itu, saya pro jika anak ingin membantu menanggung hidup orang tua. Lho, lho?
Mungkin kedengarannya hipokrit. Namun, pada pihak pro, saya menghapus kata "dituntut". Yup, anak menanggung hidup orang tua---termasuk merawat dan membiayainya atas kesadaran sendiri, suka rela, wujud dari kasih sayang. Kalau orang tua sudah merawat dan membesarkan kita dengan baik, tidak ada salahnya seharusnya kita memperlakukan mereka dengan baik juga. Jangan sampai terprovokasi dengan statement "anak nggak minta dilahirkan" sehingga tega 'membiarkan' orang tua. Statement tersebut keliru jika digunakan tidak pada tempatnya.
Nah, di sinilah pentingnya peran orang tua agar bisa bertanggung jawab terhadap anaknya, merawat dan membesarkannya dengan tulus, memberikan kasih sayang secara penuh, sehingga anak tidak berpikiran "nggak minta dilahirkan". Perlakuan orang tua yang baik secara tidak langsung akan menanamkan kasih sayang di hati anak. Kasih sayang tersebut akhirnya mendorong anak untuk senantiasa berbakti pada orang tuanya tanpa diminta. Ya, meskipun tidak bisa menjamin karena banyak faktor X yang memengaruhi, entah lingkungan, pergaulan, pola komunikasi, dan sebagainya.
Pada intinya, baik orang tua maupun anak harus sama-sama menyadari tanggung jawabnya masing-masing agar tidak saling menuntut dan menyalahi. Pro dan kontra yang bermunculan pun terlontar dari anak dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Jadi, wajar saja jika mereka punya perspektifnya sendiri mengenai persoalan ini.