Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Air Diam yang Menurunkan Kualitas Hidup Kita

18 Januari 2018   17:03 Diperbarui: 19 Januari 2018   15:43 2411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Kompas.com / Fitri Prawitasari

Saya baru akan kembali ke meja kerja di lantai 3. Beberapa orang terlihat menghambur keluar dari pintu-pintu ruangan menuju ke satu titik. Ternyata plafon ruangan di pojok sisi timur gedung jebol. 

Tidak ada angin kencang siang itu. Hujan yang sempat turun selama setengah jam juga tidak terlalu deras. Jebolnya langit-langit ruangan menimbulkan sedikit suasana panik. Kata seorang rekan yang menjadi saksi, peristiwa itu didahului suara "gedebug" seperti benda besar jatuh ke atap.

Kejadian plafon yang jebol sebenarnya bukan kali ini saja. Beberapa lokasi yang berada di bawah tandon air hujan, atau plafon ruangan tepat di bawah bak kamar mandi di lantai atasnya juga rawan bocor. Beban yang berat, ditambah rembesan air terus menerus, membuat plafon rapuh, kemudian runtuh.

Tandon air hujan pada bangunan bertingkat biasanya diletakkan di bagian atas gedung yang permukaannya datar, dan diperkuat dengan cor beton. Bagian ini menghadap langit langsung, tanpa tertutup atap. 

Penempatan tandon di atas bangunan, bertujuan mengefektifkan pemanenan hujan. Di rumah dengan pekarangan sempit, penempatan tandon di atas bertujuan untuk efisiensi lahan. Alasan lain, air hujan yang tertampung secara langsung akan lebih bersih, dibandingkan tampungan yang sebelumnya melewati talang air yang melarutkan debu dan kotoran di atap. Bisa kita bayangkan beban yang diterima plafon rumah.

Sumber : https://kitzindonesia.wordpress.com/
Sumber : https://kitzindonesia.wordpress.com/
Ilustrasi di atas menggambarkan risiko yang dialami bagian atas bangunan di negara tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Maraknya penggunaan gaya arsitektur bangunan dengan bagian atap flat atau datar, tidak terlepas dari kesan moderen dan praktis yang dibawanya.

Sangat disayangkan, maksud kepraktisan tersebut tidak diiringi pemahaman tentang perawatan dan risiko yang dihadapi atap bangunan yang datar. Curah hujan tinggi membuat peminat hunian beratap datar harus benar-benar memikirkan kelancaran pengatusan air. Air hujan seharusnya segera dialirkan agar tidak menjadi genangan di bagian atas yang justru berpotensi memperpendek usia bangunan.

Segala proses di bumi ini melibatkan agen yang membawa perubahan bentuk permukaan bumi. Ada yang membangun, ada pula yang merobohkannya. Air adalah salah satu agen pembentuk muka bumi yang juga dapat merusak. Gerakannya seiring gravitasi mengukir permukaan bumi berupa aliran-aliran permukaan maupun kelokan bawah tanah, membentuk jaringan hidrologi mahakompleks. Permukaan bumi yang tidak rata dikikis, batu terkupas, lapisan tanahnya tererosi, runtuh dan longsor, material berkumpul, mengendap di hilir, sungai mendangkal, membentuk delta. Sementara hempasan gelombang membawa serta kerikil dan pasir dari sungai mengembalikannya ke darat dan menggerus bibir pantai.

Keteraturan membangun dan meruntuhkan ini adalah cara alam bekerja yang cenderung pada keseimbangan. Saudara kita yang tinggal di wilayah terdampak erupsi gunung api, di sekitar Gunung Merapi di Yogyakarta, Gunung Agung di Bali dan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Sumatera Utara, tentu memahami lebih baik tentang ibu bumi yang sedang membangun diri, memuntahkan material-material segar. 

Sebaliknya di Kalimantan, tidak ada material batu yang baru. Proses pencucian lapisan tanah mendominasi karena hujan rajin turun bahkan saat musim kemarau, setidaknya 3 hari sekali.

Dalam proses interaksinya dengan alam, manusia awalnya sangat dipengaruhi oleh kondisi alam. Paradigma ini dalam ilmu geografi dikenal sebagai determinisme. Upaya mempertahankan kelangsungan hidup, beriringan dengan perilaku manusia menyesuaikan diri dengan kondisi alam. 

Bicara kesadaran ruang, bukan hanya domain geografi semata. Jika kita sadar bahwa setiap makhluk memiliki jiwa, kita akan merasa semua benda mengatur perilakunya menurut kondisi lingkungan. Setiap entitas di alam akan menyesuaikan diri dengan ruang yang mewadahi keberadaannya, sebagai proses aksi-reaksi. Penyesuaian diri setiap entitas, mengikuti keteraturan hukum alam, insting dan aktivitas kognisi yang melibatkan proses belajar. Manusia yang mendaku makhluk paling cerdas, dianugerahi kemampuan berbahasa yang lebih kompleks.

Ini memungkinkannya merangkai pemaknaan setiap peristiwa dan pengalaman untuk diwariskan dalam bentuk budaya dan peradaban. Bentuk budaya ini lahir dalam artefak peninggalannya. 

Kemampuan kognisi yang mendasari orientasi manusia, baik secara individu maupun kelompok, dalam memandang diri dan lingkungannya, dinamakan worldview. Worldviewmempengaruhi manusia secara individu maupun kolektif dalam merancang susunan properti dalam ruang hidup mereka dan menyematkan fungsi-fungsi properti dalam ruang itu bagi kehidupannya.

Dalam arsitektur hunian, di daerah pesisir masyarakat dahulu membangun rumah dengan tiang-tiang agak tinggi, sehingga lantai tidak langsung menapak ke tanah. Tujuannya agar air pasang tidak masuk ke dalam rumah. 

Selain itu ketinggian permukaan tanah yang rendah dibanding muka laut (Kota Pontianak sebagian besar wilayahnya memiliki ketinggian permukaan tanah 0 - 4 meter dari permukaan air laut) menyebabkan air mudah mengenang. Untungnya secara alami, aliran air mengukir permukaan bumi (yang) datar ini dengan sungai-sungai panjang dan lebar. Bahkan menjadi nama administrasi kelurahan (seperti Sungai Jawi) hingga kabupaten (Kapuas Hulu). 

Tanahnya yang sebagian besar tersusun dari remahan sisa-sisa tumbuhan hutan tropis yang terus terendam air, membentuk calon batu bara muda dikenal sebagai tanah gambut, membutuhkan pondasi yang kuat menghadapi kondisi asam. Tiang pondasi rumah, dahulu dibuat dari kayu belian. Ini adalah jenis kayu khas Kalimantan, yang tahan air, memiliki serat kayu rapat, berat, dan sangat keras.

Tanah gambut serupa spons alami, menampung air yang datang padanya, dan menyusut volumenya ketika kehilangan air. Tiang-tiang ini ditancapkan cukup dalam, agar tidak ambles akibat lahan yang labil.

Rumah-rumah dengan lantai tinggi masih banyak dijumpai di pesisir Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, lahan untuk permukiman terlebih dahulu dipadatkan (ditimbus, istilah lokal untuk menimbun lahan), sehingga penduduk dapat membangun rumah yang tinggi lantainya hampir sama dengan permukaan tanah. 

Insipirasi bentuk rumah seperti ini bisa jadi mengadopsi rumah-rumah di Pulau Jawa yang dibangun di atas lahan bermaterial tanah vulkanik, bertekstur pasiran dengan ciri ikatan butiran lepas. Tanah jenis ini memiliki drainase baik, sehingga air hujan mudah menelusup di antara rongga antar partikel tanah. Belum lagi di perkotaan, sisa-sisa rancangan drainase terpadu warisan Belanda biasanya masih diandalkan menjadi pengendali banjir dalam kota.

Adopsi desain hunian semestinya juga mempertimbangkan kondisi lokasi. Misalnya terkait perbedaan jenis tanah tadi. Tanah gambut cenderung jenuh air, sedangkan material penimbun biasanya diambil dari lahan-lahan perbukitan berjenis laterit. Tanah laterit atau dalam bahasa setempat disebut tanah merah (karena berwarna kuning merah), banyak dijumpai di Kalimantan Barat. Tanah ini terbentuk di wilayah dengan suhu tinggi (terasa panas di siang hari), lingkungan yang lembab, dan genangan-genangan air.

Curah hujan yang tinggi menyebabkan kandungan hara tanah rendah akibat terus tercuci. Ini menyebabkan laterit kurang cocok untuk budidaya tanaman pertanian, namun baik digunakan sebagai pondasi bangunan karena menyerap air, memiliki sifat yang padat dan kokoh sehingga dapat menopang bangunan di atasnya.

Lahan-lahan perbukitan ditebang kayunya pada proses land clearing awal, tanahnya diambil untuk menimbun daerah-daerah yang tergenang sebelum membuat permukiman. Meskipun tanah laterit ini tidak begitu subur, namun masih bisa dijadikan lahan perkebunan, di antaranya kopi, cengkeh, dan perkebunan sawit. Tak heran komoditas perkebunan terutama sawit dan karet menjadi andalan Kalimantan Barat.

Kondisi tanah yang jenuh air menyebabkan permukiman cenderung tergenang saat hujan. Oleh karena itu masalah drainase perkotaan perlu dirancang dengan matang. Sistem drainase terpadu; menghubungkan jaringan-jaringan selokan di permukiman, gorong-gorong yang mengalirkan air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, terhubung hingga ke sungai-sungai yang mengalir melalui kota, sebaiknya menjadi bagian penting perencanaan permukiman.

Sayangnya, dalam banyak pengamatan, selokan di permukiman dalam kota, tidak terintegrasi artinya terputus dalam satu deret rumah, tidak cukup lebar dan dalam, serta tidak terhubung pada sistem drainase yang lebih besar. Daerah rendah yang sering tergenang seperti Kota Pontianak memang menjadi sarang nyamuk berkembang biak, termasuk di saluran air. Pembangunan saluran terpadu ini terhalang pilihan masyarakat untuk menutup selokan di depan rumahnya agar terkesan lebih bersih dan mengurangi serangan nyamuk di malam hari.

Permukiman-permukiman baru yang tumbuh di Kota Pontianak kini membangun jalan lingkungan yang lebar hingga bisa dilalui kendaraan roda empat. Permukiman lama dahulu tidak disiapkan untuk dilalui mobil. Mungkin penghuninya tidak pernah membayangkan suatu saat taraf ekonomi membaik, sehingga kelak bisa membeli mobil. Minimal anak, menantu dan cucu akan berkunjung menggunakan mobil yang sekarang bisa dicicil dengan 3-5 juta-an rupiah per bulan. 

Seperti kata Pak Anies Gubernur Jakarta, becak ada karena ada permintaan, demikian pula pelebaran gang-gang kecil di permukiman lama Kota Pontianak (eh, tidak ada hubungan) ada karena kebutuhan penghuninya agar mobil bisa masuk parkir di depan rumah, walau motor perlu mandeg kalau dua kendaraan ini berpapasan. 

Bisa kita tebak, yang menjadi korban adalah selokan yang ditiruskan lebar mukanya, maksud saya dikurangi lebar penampangnya, malah kalau bisa ditutup sekalian. Air tampaknya dibiarkan mencari jalannya sendiri, mulai dari atap datar bangunan minimalis, hingga lingkungan permukiman. Semoga masih banyak yang peduli, bahwa air diam itu juga bisa berdampak buruk pada kualitas hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun