Mohon tunggu...
Dian Iswanti
Dian Iswanti Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa PGMI Institut Pesantren Mathali'ul Falah

Abadikan kenangan dengan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keutamaan Berbagi

1 Februari 2021   08:43 Diperbarui: 1 Februari 2021   08:50 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Pagi hari matahari sudah enggan memancarkan sinarnya. Langit petang dan hawa dingin membuat orang malas beraktifitas pagi itu. Berbeda dengan Rizal, saat adzan subuh ia sudah bangun, membersihkan tempat tidurnya lalu mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. 

Kemudian ia mandi dan sarapan. Rizal sudah satu tahun terakhir ini menganggur, sebelumnya ia bekerja di sebuah perusahaan namun ia mengalami PHK saat ada pengurangan karyawan di masa pandemi. Ia sudah berkali-kali melamar pekerjaan kesana kemari namun belum juga berhasil. Hari itu merupakan hari dimana Rizal melakukan interview kerja, ia berharap hari itu menjadi hari baik untuknya. Sebelum berangkat Rizal memohon restu kepada bapak ibunya agar dipermudah saat interview nanti. 

Lalu ia berangkat menaiki sepeda tua milik ayahnya. Jarak rumah Rizal ke kantor tujuannya sekitar 30 menit, namun baru berjalan 15 menit hujan lebat turun sehingga menyebabkan Rizal harus berteduh terlebih dahulu karena ia tak membawa mantel. Ia gelisah karna takut terlambat interview jika hujannya tak kunjung reda. 

Ketika hujan sudah reda ia bergegas menyalakan sepedanya. Namun tidak menyala, ia mencobanya lagi, namun tetap saja tidak menyala. Lalu ia mengecek bensinnya, ternyata masih penuh. Ia kebingungan, Dan ia baru tersadar, motornya ini adalah motor tua yang ketika terkena air motor ini akan mogok. "Ya Allah bagaimana ini, tadi hujan sekarang motorku mogok. Ini sudah sangat telat untuk aku berangkat interview. Apalagi jarak ke bengkel cukup jauh". Ucap Rizal dalam hati. Akhirnya ia terpaksa mendorong motornya ke bengkel. 

Setelah sampai di bengkel ia menyerahkannya ke montir dan ia duduk di kursi. Setelah setengah jam menunggu akhirnya motor Rizal jadi. Ia pulang dengan rasa kecewa dan kesal. Sesampainya di rumah ibu Rizal tengah mengepel lantai halaman depan. Melihat Rizal yang pulang cepat ibunya bertanya, "Lohh, anak ibu kok sudah pulang, gimana interview nya?". 

"Gagal bu, tadi Rizal kehujanan jadi Rizal berteduh, waktu udah reda dan Rizal mau berangkat ehh malah motornya mogok". Jawab Rizal murung. Ibu Rizal tersenyum, "Ya udah nggak papa, besok kan masih ada kesempatan lagi. Yang terpenting kamu tetap semangat, jangan menyerah okee". Ucap ibu mencoba menghibur Rizal. Mendengar ucapan ibu Rizal menjadi bersemangat lagi. Selama ini ibu memang selalu jadi penasihat terbaik untuk Rizal. 

Saat adzan magrib Rizal berangkat sholat berjamaah di masjid. Kebetulan hari itu adalah malam Jum'at, biasanya setiap malam Jum'at saat selesai sholat magrib di adakan pengajian yang di pimpin oleh pak ustad. Saat itu pak ustad menjelaskan tentang keutamaan berbagi. Pak ustad menjelaskan, jika seseorang memiliki uang seribu dirham dan ia menyedekahkan tiga puluh dirham, maka yang tiga puluh dirham itulah yang akan kekal. Rizal terdiam dan merenung. 

"Apa selama ini aku belum menerapkan konsep berbagi ini ya sehingga apa yang ku usahakan selama ini belum juga ada hasil, sudah cari kerja kesana kemari di tolak, kemarin ada kesempatan interview malah ada-ada cobaannya". Rizal memang sosok orang yang selalu taat sholat 5 waktu, tak lupa ia juga selalu menyempatkan untuk mengaji Al-Qur'an dan mengaji di majlis setiap malam Jum'at. Tapi dia lupa dengan pentingnya berbagi ke sesama yang membutuhkan. Ketika melihat pengemis di jalan ia ingin memberi tetapi selalu muncul pikiran yang mengurungkan niatnya. 

"Aku kan sedang tidak pegang uang, inipun ada hanya cukup untuk uang bensin, lagian aku juga belum bekerja, besok sajalah kalau aku punya uang lebih". Setelah mendengar ceramah dari pak ustad hati Rizal menjadi tergerak dan mulai menata niat untuk berbagi ke sesama. Keesokan harinya seperti biasa ia lari pagi menyusuri jalan di kompleksnya, ia melihat ada seorang kakek-kakek yang sedang mengorek-ngorek sampah di depan gang. Rizal mendekatinya, "Kakek sedang apa?". Tanya Rizal. "Cari sampah mas". Jawab si kakek sambil berhenti mengorek sampah dan duduk di pinggir jalan. "Buat apa kek, kakek jual?". Tanya Rizal penasaran. "Iya mas, buat makan sehari-hari". (Jawab kakek sambil mengelap keringatnya di dahi). 

"Kakek hidup sama siapa? Istri dan anak kakek dimana?". "Kakek hidup sebatang kara mas, istri kakek sudah meninggal 7 tahun yang lalu, anak kakek sudah punya kehidupan masing-masing". Rizal terdiam dan membatin dalam hati, "Ya Allah, tega sekali anak kakek ini membiarkan ayahnya mengais sampah dan membiarkannya hidup sendirian". "Kakek sudah sarapan?". Tanya Rizal. "Belum mas". Jawab si kakek. "Ya sudah ayo ikut ke rumah Rizal kek, kita sarapan disana". Ajak Rizal. 

"Tidak usah mas, nanti merepotkan". "Tidak sama sekali kek". (Berjalan menggandeng si kakek). Akhirnya Rizal mengajak si kakek pulang ke rumahnya untuk sarapan. Si kakek sangat lahap makannya, padahal mereka cuma makan tempe, telur dan sambal tapi kakek terlihat sangat bahagia. Setelah makan kakek beristirahat sebentar dan berbincang-bincang dengan Rizal, lalu kakek berpamitan karena harus mencari sampah lagi. Rizal masuk ke kamarnya dan mengambil uang senilai seratus ribu dan memberikannya untuk si kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun