Mohon tunggu...
Dian RatnaPuspita
Dian RatnaPuspita Mohon Tunggu... mahasiswa

haii kenalin namaku Dian Ratna Puspita aku sebagai mahasiswi teknologi laboratorium medik di universitas Airlangga aku memilih hobi traveling,membaca, dan menyanyi.aku termasuk orang yang humble,ramah,baik,dan juga cerewet

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Peran Media dalam Membentuk Persepsi Masyarakat tentang Pelecehan Seksual

6 Juni 2024   17:46 Diperbarui: 6 Juni 2024   17:51 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Representasi kasus pelecehan seksual dalam berita memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap isu ini. Media memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana suatu kasus dipahami oleh publik melalui pemilihan kata, framing, dan narasi yang digunakan. Seringkali, kasus pelecehan seksual diberitakan dengan fokus pada sensasionalisme dan detail grafis yang dapat menggugah emosi, tetapi tidak selalu memberikan konteks atau pemahaman yang mendalam mengenai akar masalahnya. Media yang bertanggung jawab akan memilih untuk menyajikan informasi dengan memperhatikan etika jurnalistik, menghindari viktimisasi ulang terhadap korban dengan cara tidak mengungkap identitas atau detail pribadi yang tidak relevan. Mereka juga berupaya memberikan informasi yang edukatif mengenai apa yang termasuk dalam pelecehan seksual, hak-hak korban, serta prosedur hukum yang berlaku.

Namun, tidak semua media mengadopsi pendekatan yang bertanggung jawab ini. Beberapa media mungkin memberitakan kasus pelecehan seksual dengan bias, misalnya dengan cenderung menyalahkan korban atau memberikan ruang bagi pembelaan diri pelaku tanpa kritik yang memadai. Representasi yang tidak berimbang ini dapat memperkuat stereotip negatif dan stigma terhadap korban, yang akhirnya menghambat keberanian korban lain untuk melapor. Di sisi lain, pemberitaan yang baik dan edukatif dapat meningkatkan kesadaran publik, mendukung korban, dan mendorong perubahan sosial serta kebijakan yang lebih baik untuk menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Media memiliki tanggung jawab besar untuk menggunakan pengaruhnya secara positif dalam isu yang sensitif ini, guna membentuk masyarakat yang lebih sadar dan responsif terhadap pelecehan seksual.

Pengaruh narasi media terhadap simpati publik terhadap korban pelecehan seksual sangat signifikan. Cara media memberitakan sebuah kasus dapat menentukan sejauh mana publik merasa empati dan mendukung korban. Jika media menggunakan narasi yang mendukung korban dengan menyoroti penderitaan mereka, mengedukasi publik tentang trauma yang dialami korban, serta memberikan ruang bagi korban untuk menceritakan pengalaman mereka dengan aman, hal ini cenderung menghasilkan simpati dan solidaritas dari masyarakat. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang netral atau cenderung menyudutkan korban, seperti memfokuskan pada perilaku korban atau mempertanyakan kredibilitasnya, dapat mengurangi simpati publik dan menambah beban psikologis korban. Narasi yang positif dan empatik dapat membantu memanusiakan korban, menunjukkan dampak nyata dari pelecehan seksual, dan mendorong masyarakat untuk lebih mendukung langkah-langkah perlindungan dan bantuan bagi korban.

Selain itu, narasi media juga mempengaruhi bagaimana kasus-kasus pelecehan seksual dipahami dalam konteks yang lebih luas. Media yang secara konsisten memberitakan pelecehan seksual dengan pendekatan yang edukatif dan berperspektif gender dapat membantu mengubah persepsi masyarakat tentang masalah ini. Misalnya, dengan menyoroti ketidaksetaraan gender dan kekuasaan yang sering menjadi latar belakang terjadinya pelecehan seksual, media dapat membantu publik memahami bahwa pelecehan seksual bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik yang memerlukan solusi kolektif. Narasi yang berfokus pada keadilan dan pemulihan bagi korban dapat mendorong perubahan sikap, meningkatkan kesadaran akan pentingnya dukungan terhadap korban, dan mengurangi stigma yang seringkali menghalangi korban untuk melapor dan mencari bantuan. Dengan demikian, narasi media yang tepat tidak hanya mempengaruhi simpati publik terhadap korban, tetapi juga berperan dalam membentuk budaya yang lebih mendukung dan adil dalam menangani pelecehan seksual.

Stereotip dan bias gender dalam pemberitaan kasus pelecehan seksual adalah masalah yang sering kali menghambat penyampaian informasi yang objektif dan adil. Media sering kali, baik secara sadar maupun tidak sadar, memperkuat stereotip gender yang merugikan melalui cara mereka menyajikan berita. Misalnya, korban pelecehan seksual perempuan sering kali digambarkan dengan fokus pada penampilan fisik, pakaian, atau perilaku mereka sebelum insiden terjadi, yang secara implisit menyiratkan bahwa mereka mungkin "meminta" untuk dilecehkan. Sebaliknya, pelaku pria sering kali digambarkan dengan cara yang lebih simpatik atau rasionalisasi, seperti mengungkapkan tekanan yang mereka alami atau prestasi mereka sebelumnya, yang dapat mengurangi persepsi kesalahan mereka di mata publik. Pendekatan ini tidak hanya mengalihkan perhatian dari tindakan kriminal yang terjadi, tetapi juga memperkuat norma-norma gender yang merugikan dan menstigmatisasi korban.

Bias gender dalam pemberitaan juga terlihat dalam cara media sering kali memperlakukan kasus pelecehan seksual sebagai insiden yang terisolasi dan bukan bagian dari masalah sistemik yang lebih besar. Laporan yang fokus pada individu daripada pola-pola perilaku yang melibatkan kekuasaan dan kontrol gender dapat mengaburkan pemahaman publik tentang skala dan sifat sebenarnya dari pelecehan seksual. Selain itu, laki-laki korban pelecehan seksual sering kali diabaikan atau diperlakukan dengan rasa skeptis karena bertentangan dengan stereotip gender yang ada, yaitu bahwa laki-laki harus selalu kuat dan tidak mungkin menjadi korban. Ini mengakibatkan penggambaran yang tidak lengkap dan tidak akurat dari masalah pelecehan seksual, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana masyarakat merespons dan mendukung korban. Media yang gagal mengatasi dan menantang stereotip dan bias gender dalam pemberitaannya dapat memperparah trauma korban, menghalangi proses pemulihan, dan menghambat upaya untuk mencapai keadilan dan perubahan sosial yang diperlukan.

Media sosial memiliki peran yang sangat signifikan dalam kampanye anti-pelecehan seksual, mengingat platform ini memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat dan luas serta menyediakan ruang bagi suara-suara yang sebelumnya mungkin terpinggirkan. Melalui kampanye viral seperti #MeToo, korban pelecehan seksual dari berbagai belahan dunia dapat berbagi pengalaman mereka, membangun komunitas dukungan, dan memberikan tekanan publik terhadap pelaku dan institusi yang mungkin mencoba menutup-nutupi kasus. Hashtag dan kampanye online ini telah membuka mata banyak orang terhadap luasnya masalah pelecehan seksual dan mengubah percakapan publik tentang isu ini. Selain itu, media sosial memungkinkan individu dan organisasi untuk mendistribusikan informasi tentang hak-hak korban, cara melaporkan insiden, dan sumber daya yang tersedia bagi mereka yang membutuhkan bantuan, sehingga memperkuat upaya advokasi dan pendidikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun