Mohon tunggu...
Oedin Only
Oedin Only Mohon Tunggu... Administrasi - Pemberdaya dan Petani

Berkeseharian dengan Desa dan Petani | Berutinitas dalam Pemberdayaan Penyuluh, Pelaku Utama dan Pelaku Usaha | Menyenangi Opini, Analisis dan Literasi | Ingin Berfocus Sebagai Penggiat Analisis Politik Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Berkelas Global | Juara I Lomba Blog KPK 2012

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kabut Asap, Martabat Bangsa dan Kesadaran Bersama

14 September 2019   11:47 Diperbarui: 16 September 2019   04:55 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah kendaraan melintasi jalan yang berselimut kabut asap di Kawasan Plaju, Palembang, Kamis (12/9/2019). Kualitas udara di Kota Palembang semakin memburuk diakibatkan kebakaran hutan dan lahan. (TRIBUNSUMSEL/Abriansyah Liberto)

Padahal hampir jam 9 pagi.  Biasanya matahari terang bersinar. Namun, keadaan terlihat masih serupa jam 6 pagi. Sesekali sinar matahari hadir seperti lampu 5 watt, sesaat kemudian redup.  

Karena tak ada yang ngantar, akhirnya si kecil yang masih TK harus ikut ke kantor, setidaknya di sana dia bisa bermain.  

Sepanjang perjalanan rasa tak tega menyeruak, membawa si kecil naik motor, menembus dinding kabut asap yang menebal. 

Terpikir untuk memasangkan masker menutup hidung dan mulutnya, namun benda asing itu membuatnya tak nyaman, si kecil justru happy dengan ketidaktahuannya, riang menikmati perselingkuhan kabut, asap dan debu keluar masuk di pernafasannya begitu beringas.

Rasa khawatir bertarung dengan persepsi. Kabut asap ini bukan hal baru.  Ini adalah musim tahunan yang sedang tiba. 

Banyak orang tua beranggapan, anaknya harus terbiasa dan mampu bertahan. Bahkan tak sedikit bayi yang digendong ibunya, diajak menerobos pekat kabut asap agar rencana terwujud hari itu.  

Entah ke pasar beli lauk dan sayur, berobat, atau sekedar jalan-jalan mengunjungi sanak kerabat, atau semata cuci mata melepas kesuntukan urusan dapur, sumur dan kasur.

Rasa jengkel menyeruak, kok ada yang tega bakar-bakar di lahannya atau lahan orang lain, asapnya tebal dan kemana-mana, membuat susah bernafas, menimbulkan segudang khawatir tentang dampak buruknya baik waktu, biaya, kesehatan, dan keselamatan. 

Tapi Kejengkelan yang genit ini hanya berdansa di lisan-lisan geram, bersahut satu sama lain serupa paduan suara, dan tak jarang berakhir sebagai pemakluman.

Target ekspor yang massif dan bombastis terwujud. Produk yang dekspor langsung bikin heboh dan dinikmati konsumen tanpa mengeluarkan biaya, baik sekali bukan? untung sekali bukan? memberi tanpa pamrih, menerima tanpa penolakan. 

Ah, produk asap ini nakal, mengundang rasa benci dan mengoyak persaudaran. Heran, kok saban tahun selalu terjadi, negara tetangga geger, asap-asap bengis kita melintasi batas negara merenggut keperawanan udara sehat yang dielu dan didamba manusia. Lantas, siapa yang tanggung jawab?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun