Gemintang langit angkasa raya mulai memudar diganti sinaran surya yang usai menitipkan langkahnya pada rembulan tadi malam.
Ini kisah suatu pagi, pagiku yang tidak dibalut kabut. Awalnya kukira pagiku berkabut. Begitulah sesaat aku mengintip dari balik jendela kamar sempitku. Tapi memang benar, hari ini tidak ada kabut.
Aku pikir hari ini kau akan datang menjemputku seperti kemarin. Seperti pada pagi biasanya. Seuntai notifikasi hp mengucap pesan singkat, "selamat pagi, asmaraku."
Lalu sambil tersenyum, masih dengan mimpi di atas ubun-ubun, aku pun mengurai kata dalam rengkuh algoritma, "pagi, maaf, semalam aku terlelap."
Tak lama, kau pun menjawab, "semalam rinduku untukmu telah habis kuurai dalam mimpi kita. Mungkin kini hanya tersisa satu rasa saja,"
"Apa itu?" tanyaku penuh harap, dalam degub jantung yang menyeruak hingga ulu hati. Aku hanya ingin melindungi diri dari pekat aksaramu.
"Kangen. Hanya kangen yang masih tersisa untukmu," begitu pesan singkat darimu. Ternyata memang ini pagiku.
Sembari mengurai sipu malu, sungguh aku ingin membuang mimpiku. Terbang ke arahmu.
Tak segera kubalas jawabmu. Apakah kusengaja? Bukan! Bukan itu maksudku. Semua karena kau telah membuatku melayang, hingga lupa daratan. Katakan sekarang, semua karena salah siapa?
Gemintang langit angkasa raya mulai memudar diganti sinaran surya yang usai menitipkan langkahnya pada rembulan tadi malam.
Aku melangkah melanjutkan pagiku. Menitipkan harap masa depanku di belakang meja buruh korporasi saat siang mulai menyengat.