Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Cara yang Dapat Dilakukan Orangtua untuk Mencegah "Sexual Abuse" pada Anak

1 Agustus 2020   19:19 Diperbarui: 1 Agustus 2020   21:40 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: children abusive | sumber: pixabay.com

Pukul 06:00. Sebuah pagi indah, langit terlihat cerah, mentari pun tersenyum sumringah, seolah mengiring kaki seorang gadis manis berjalan bergegas menuju sekolah. Sebuah SMP Negeri yang tidak jauh dari rumahnya. 

Seragam biru putih melekat tak ketat di tubuhnya. Sepatu seragam bantuan dari Dana BOS di sekolah mengantarnya melewati gang kecil dekat sekolah. Di atas bahu rampingnya, menggantung tas ransel si gadis yang beranjak remaja.

Di tikungan jalan, ia berjalan sendiri. Tetiba dari arah berlawanan seorang pria dewasa, separuh baya usianya, memegang dada si gadis manis. Lalu pria itu pergi begitu saja. Sedang si gadis manis hanya menangis, menahan malu, tak tahu harus bercerita pada siapa. Menyimpan memori pahit ini, entah untuk apa.

***

Maaf, saya membawakan kisah yang bukan berasal dari imajinasi saya. Kisah yang tidak terangkat di media massa. Kisah yang sederhana, namun ironisnya kisah nyata itu seakan sebuah hal yang biasa saja.

Saya hanya membawakan cerita singkat. Fakta yang ada di masyarakat. Hanya cerita itukah? Masih banyak versi lainnya yang saya yakin, Anda pun pasti tahu, pasti pernah menjumpai, atau pun pernah mendengar bisik-bisik informasi tentang anak-anak penyintas pelecehan seksual.

Sebuah rahasia yang dimiliki secara umum.

Ketika cyber bullying menjadi sebuah ajang perlombaan pamer kekuasaan di dunia maya; ketika pelecehan seksual terjadi atas anak-anak di ranah mana pun; ketika luka menghiasi tubuh dan batin mereka, apakah ini semua akan menjadi hal yang "biasa"?

Sebuah kebudayaan terbentuk dari sebuah peristiwa yang pada masa yang lampau merupakan hal yang extreme menjadi hal yang normal (lazim), bahkan kemudian dipayungi sebuah legalitas masyarakat berupa "norma". Entah itu dalam bentuk norma tertulis atau tidak tertulis.

Lantas, apakah sexual abuse ini akan kita wariskan sebagai sebuah kebudayaan untuk mereka? Tragis!!

Anak-anak itu anak-anak kita, anak-anak itu generasi penerus kita. Anak-anak itu pemegang tongkat estafet budaya, norma, dan perkasanya negri kita!! Mereka tunas yang tumbuh di taman kita. 

Saya yakin setiap kita punya cara masing-masing dalam hal mendidik dan memberi warna dalam tumbuh kembang anak-anak kita. Tidak ada standar baku yang terbaik untuk mendidik anak-anak.

"Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan" (Kahlil Gibran)

Apakah Anda berkeberatan apabila saya mengusulkan beberapa gagasan berkaitan dengan preventif terhadap tindak kekerasan pada anak-anak? Bila diizinkan, sila teruskan membaca.

1. Usahakan tetap "keep in touch" dengan anak-anak
Perasaan dikasihi bagi anak-anak adalah hal yang paling dirindukan. Jangankan anak-anak, kita sebagai orang dewasa pun bila dikasihi akan sangat senang, bukan?

Mengenalkan dan menumbuhkan sensasi dikasihi pada anak-anak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling penting adalah hadirnya kita dalam dunia mereka. 

Komunikasi adalah alat utama. Biasakan semenjak kecil anak bebas berekspresi serta mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya dengan cara menulis, menggambar, dan bercerita. 

Mungkin juga bila anak telah dirasa cukup dewasa untuk menyerap informasi, kita dapat berbagi pengalaman kekerasan seksual yang pernah kita jumpai.

Dan dengarkan. Jadikan saat-saat mendengarkan mereka adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi kita selaku orang dewasa. 

Ajak anak untuk mampu membagi perasaan sekaligus segala hal yang mereka alami. Adakan dialog dua arah, sehingga timbul perasaan "dihargai" pada anak-anak. Dengan demikian, mereka tidak canggung untuk berbagi apa pun dalam diri mereka, sebab kita adalah "sahabat" mereka. 

2. Mulai lakukan "sex education" semenjak dini
Anak-anak usia akil balik, antara 11-12 tahun adalah usia memasuki "real world". Banyak orangtua datang pada saya, kebanyakan dari mereka mengeluhkan sikap anaknya yang cenderung semakin bengal, ga mau nurut, pokoknya semau gue. 

Para orangtua biasanya sudah mulai give up. Anak-anak di usia ini mulai mencari dan menjajal dunia kelompok mereka. Mencari teman yang bisa diajak bermutualan. 

Ya, take and give segala informasi yang mereka butuhkan dalam masa "pencarian jawaban" atas pertanyaan yang enggan mereka bincangkan dengan orangtua mereka, dikarenakan adanya gap atau jurang pemisah antara orangtua dengan anak.

Hati-hati, Bunda, Ayah. Ini momen penting bagi pertumbuhan self esteem mereka. Biasanya, pertanyaan yang seru adalah sekitar seksualitas.

Bagaimana mereka ada di dunia, mengapa fisik mereka berbeda, ditambah dengan informasi yang belum tentu benar dari teman ataupun dunia maya. Hmm, tak jarang efek audio visual mampu menciptakan imajinasi dan pertanyaan-pertanyaan "besar" bagi mereka.

Lalu gimana? Ok, tentu saja membicarakan sex di sini bukan berkisar tentang kegiatan seksual antara pria dan wanita di atas ranjang. Kita bisa memulainya dengan langkah pertama. Dialog dua arah.

Lihat saja pertanyaan yang mungkin muncul. Tentang bagaimana pembuahan itu terjadi, tentang kehamilan, kelahiran, tentang masa menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki, tingkah laku penyimpangan seksual dalam masyarakat, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pertumbuhan dan fungsi alat-alat reproduksi yang benar.

Dengan pemahaman yang benar, diharapkan anak-anak dapat menangkap informasi secara tepat, sesuai tingkat pemahaman mereka, sehingga mereka pun mampu menyikapi kondisi bagian tubuh mana yang tidak seharusnya disentuh oleh orang lain.

Kita dapat mengemas pendidikan sex ini dalam bentuk cerita atau dongeng tentang heterogenitas karakter individu yang mungkin mereka temui di lingkungannya.

3. Ciptakan lingkungan yang memproteksi mereka
Ada beberapa kerabat pernah membagi pengalamannya tentang bagaimana ia memproteksi anak gadis mereka. Mengikuti kursus aikido, yudo, karate, ya...selain sebagai ajang berolah raga, anak-anak bisa menjaga dirinya dengan kemampuan olah tubuh yang mereka miliki. Tentu saja ini bagus, akan tetapi tidak semua dari kita menyenangi kegiatan olah tubuh tersebut. 

Satu hal yang pasti adalah memberikan edukasi tentang tindakan-tindakan pelecehan seksual yang mungkin saja terjadi di sekeliling mereka. 

Lakukan perlindungan pada anak-anak apabila kita mendapati anak-anak telah mengalami tindakan abusive dalam ranah mana pun.

Ajarkan pada anak tindakan asertif, untuk berkata "tidak" dan bertindak tegas pada sex abuse.

Biasakan anak-anak berpamitan sebelum berpergian, agar kita sebagai orang dewasa dapat memantau keberadaan anak.

Tanggaplah pada perubahan kondisi psikis atau fisik anak kita. Perubahan emosi, yang biasanya ceria tiba-tiba menjadi murung dan pendiam atau kita dapati bekas luka maupun darah pada bagian tubuh anak. Atau kebiasaan baru yang timbul disebabkan oleh rasa cemas, seperti ngompol, tidak bisa tidur, dan rasa takut yang berlebihan.

Berikan hak perlindungan pada mereka, bukan menuduh mereka sebagai penyebab kejadian abuse tersebut. 

Mental illness anak-anak ini seringkali saya jumpai terlampiaskan dalam bentuk kenakalan remaja, timbulnya rasa minder, tumbuh luka batin yang panjang dan terakumulasi hingga dewasa, rasa takut untuk menikah, bahkan ada yang melakukan self harm pada bagian-bagian tubuhnya.

Anak-anak bertumbuh dengan luka batin yang dalam. Bertumbuh bersama trauma yang menyiksa tidur malam mereka. Bertumbuh menjadi pribadi yang meracuni, menyakiti diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.

Perlu diingat, seorang psikopat atau pelaku penyimpangan seksual seringkali mempunyai latar belakang pelecehan dan kekerasan baik psikis maupun fisik di saat masa kecil mereka. 

So please, stop children's violence, stop children abusive, let them smile and shining like a star.... 

*Solo....mengutip kembali keping aksara Sang Guru, "Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan." (Kahlil Gibran)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun