Dalam keheningan, di antara bayu yang terdengar meniup syair puji dan puja, kau menemukanku. Hanya tersenyum. Lalu begitu saja damai menghambur ke arahku.
Kembali tatapan matamu begitu tajam menusuk hulu hatiku. Aku terdiam. Dengan seluruh kebodohan semesta, aku hanya mampu memandangi jemari kakiku.
"Maukah kau mempercayaiku, Cintaku?" kembali kau menyapa. Oh, mana berani aku menatap mata teduhmu itu? Pastilah akan kau dapati mataku yang sembab. Mengurai air mata yang kubenci. Air mata kerapuhanku.Â
Mereka selalu berkata, "Bullshit dengan air matamu, munafik!!"
Tapi tidak denganmu.Â
Tak kupahami, mengapa kau tak pernah menyerah untuk mencintaiku? Pun tak pernah kumengerti, di antara bermilyar pribadi, kaulah yang selalu hadir menemani.
Seperti kini, coklat panasku telah habis. Kau mengambil gelasnya. Lalu kembali duduk di sampingku, menuangkan air surga dalam gelas yang baru saja kau ambil untukku.Â
"Minumlah, dan kau tak akan haus lagi."
"Aku rindu kembali,"
"Kemarilah,"lengan perkasamu menarikku lembut. Aku hanya menurut. Dalam sekejap, kurasakan dekapmu. Hangat.
Tiada kata terucap. Hening. Sepi. Hanya desah napasmu terdengar menghalau perihku. Di tempat ini, pertemuan denganmu selalu melilit, merobek tirai hatiku.Â