Dilansir dari Siaran Pers Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2019 kemarin, ternyata Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menduduki peringkat pertama untuk kasus kekerasan yang dilaporkan, selain Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan selanjutnya, Incest.
Undang-Undang No. 23 tahun 2004, pada pasal 5 sangat jelas memaparkan adanya pelarangan tindakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik itu berupa kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Lantas mengapa tindakan kekerasan tersebut masih saja marak, bertumbuh bagai jamur di musim hujan?
Minimnya pengetahuan mengenai payung hukum yang disediakan oleh negara ini menambah tinggi dan semakin maraknya kasus kekerasan dalam tangga di Indonesia. Terlebih, bagi kaum marjinal seperti kaum buruh dan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.
Tentu hal ini sangat berkaitan pula dengan penyebaran pengetahuan masyarakat awam, demi terpupuknya kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat di berbagai lini. Namun apakah faktor distribusi edukasi kepada masyarakat luas saja yang menjadi PR kita semua?
Ternyata ada faktor lain yang ikut menyumbang pada peliknya problem ini, yaitu ketidakpedulian masyarakat sekitar bila terjadi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.Â
Dengan dalih kejadian kekerasan ini adalah ranah pribadi keluarga, maka dengan ringan kita seakan lepas tangan dan tak peduli akan kondisi mereka.
Tingkat kepedulian sosial di era millennium ini terasa semakin minim saja. Jangankan menoleh atau bertindak menolong, untuk sekedar mendengar keluhan mereka yang terdampak saja kita seakan tak punya waktu. Sibuk dengan urusan dan pemuasan keinginan kita masing-masing.
Tetapi, baiklah jika faktor ekstern memang menjadi batu ganjalan bagi terangkatnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan banyaknya fakta di luar sana, ketika seorang wanita mengalami kekerasan dalam rumah tangganya sendiri dan ia hanya memilih untuk berdiam diri saja?
Membiarkan diri diinjak, dipukul, dibentak, dipaksa melakukan hubungan intim saat sedang sakit, atau bahkan diancam jika tak mau menuruti kemauan sang suami. Bagaimana dengan penelantaran secara ekonomi, atau mendapat cacian, makian, bahkan dipermalukan pasangan, dan berbagai tindakan kekerasan verbal lainnya, yang menimbulkan luka psikis pada wanita.
Belum lagi tindakan perselingkuhan yang dilakukan suami sehingga mengakibatkan kesakitan mental istri dan anak- anak.