Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Aku dan Perempuan Gila Itu

24 Desember 2019   07:42 Diperbarui: 24 Desember 2019   07:46 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

kuberanikan diri berdendang lagu usang, usai bangun dari tertidur, waktu malam bertandang ke rumah dan menyapa sore untuk segera beranjak pergi.

lambat kupukuli genderang pagi, suaranya menyusup disela kabut yang kubuka, tatkala langkah kaki ini membelah jalan yang teramat sepi dari riuh burung yang berkicau.

lalu kusadari waktu membiarkan aku sendiri melaju  meniti jalan yang berkerikil, dengan kegilaan hati yang degil tanpa takut hidup ini tercungkil.

kujumputi waktu yang ada di pinggir jalan, tak kuasa aku menepis rambut yang kini mulai berubah warna menjadi tiga, hitam, merah, dan abu-abu.

bukan mewakili apa pun, hanya representasi waktu yang kugumuli tiap hari, dan kulumuri dengan hajatan masalah yang kini mulai membiasakan diri padaku sebagai tempat yang nyaman baginya untuk tinggal.

kubiarkan saja masalah menggeluti dan mengulitiku, meski hampir membawaku pergi dari dunia penuh paradigma sekuler ini..

kujumpai perempuan yang berdiri di jalan bersama kabut yang menjadi jubahnya. Ia tak tersenyum atau pun bersungut. Jari tangannya dekil, mengais cinta yang tak pernah sekali pun ia dapati.

ia meronta menjerit kala kutuangi dengan anggur, ternyata tubuhnya penuh luka, tercabik asmara yang mencoba mengikatnya menjadi budak beribu tahun lamanya.

sekejap ia menatapku, lantas menyeringai dan tertawa, seakan melepaskan jiwa yang terkubur debu renjana dan rindu kepunyaannya. ia begitu rapuh seperti buluh yang telah lunglai. hanya selembar daun tipis yang menetap di ujung rambutnya.

hampir kuambil, namun kembali kubiarkan dauntipis itu menghiasi rambut gimbal yang tinggal sebahu. kubelai ringkas rambut yang mungkin hanya tinggal seikat masa diruntuh gelisah. kembali ia meraung keras menghentak sukma dan raga setiap makhluk yang mungkin tak memberinya rasa aman, terlebih rasa nyaman.

aku menatapnya erat, tanpa pelukan yang tak kan ia perlukan. ia berdiri di sana, di samping jalan dengan tangan dekil terikat besi bulat terangkai indah bagai kalung di lehernya. ia memuja besi-besi bulat yang teronce di leher dan kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun