Mohon tunggu...
Kadek Diah Arya Sita Saraswati
Kadek Diah Arya Sita Saraswati Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Pendidikan IPA Pascasarjana UNDIKSHA

Do the best, be the best, all the best

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Peta dan Perjalanan: Filsafat Pendidikan dalam Teori dan Praktik

2 Oktober 2025   11:30 Diperbarui: 2 Oktober 2025   09:00 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Mind Mapping Filsafat Pendidikan dalan Teori dan Praktik

Pernahkah kita bayangkan jika sebuah sekolah tidak memiliki arah tujuan. Guru mengajar karena memang itu perkerjaannya sebagai guru bukan karena memiliki panggilan hati untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa. Siswa belajar karena takut tidak lulus ujian dan hanya sekedar mengikuti keinginan orang tua untuk belajar. Orang tua menyekolahkan anak karena "memang harus begitu" dan tanpa memiliki tujuan yang jelas mengapa mereka harus menyekolahkan anak -- anaknya. Semua kegiatan tersebut berjalan, tetapi tidak ada yang benar -- benar tahu tujuan Pendidikan yang sebenarnya.Di situlah filsafat pendidikan bekerja yang memahami tujuan, makna, dan arah pendidikan itu sendiri. Filsafat Pendidikan bukan sekedar teori yang kaku di ruang kuliah. Ia hadir di setiap ruang kelas, dalam cara guru mengajar, dalam kurikulum yang dirancang pemerintah, hingga dalam Keputusan orang tua yang memilih sekolah untuk anaknya. Selain itu, filsafat pendidikan ibarat kompas yang mengingatkan, "Hei, pendidikan ini bukan Cuma soal angka rapor dan ijazah." Ada tujuan yang lebih mendasar yaitu membentuk manusia yang bisa berpikir, merasa, sekaligus bertindak bijak. Sayangnya, banyak dari kita lupa akan hal tersebut. Sekolah kerap menjadi tempat perlombaan dan ajang pamer nilai. Seharusnya sekolah sebagai ruang tumbuh - kembang siswa sebagai penerus bangsa.Dari permasalahan tersebut muncullah berbagai pertanyaan: Untuk ap akita mendidik? Kalau hanya demi pekerjaan, bukanlah mesin bisa jauh lebih efisien? Tapi kalua untuk membentuk manusia seutuhnya, jelas hanya pendidikan yang bisa. Disanalah filsafat pendidikan menunjukkan perannya sebagai pemberi arah dan pemberi makna.
Di Indonesia, pendidikan sering terjebak dalam angka dan peringkat. Kita bangga Ketika anak bisa menjuarai olimpiade, atau Ketika sekolah masuk dalah daftar 10 besar. Berdasarkan data PISA 2022 mempertegas kondisi kemampuan membaca dan berhitung anak -- anak kita masih jauh dari rata -- rata global. Tapi dibalik permasalahan tersebut, ternyata ada masalah lain yang tak kalah serius yaitu keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kepekaan social belum berkembang optimal. Pendidikan di Indonesia kerap hanya sibuk mengajar kognitif, sementara sisi moral dan karakter tertinggal di belakang.
Dari masalah pendidikan yang disampaikan tadi, maka filsafat pendidikan hadir untuk bertanya ulang. Adapun pertanyaan yang muncul, yaitu:
1.Apakah sekolah hanya pabrik nilai?
2.Apakah guru hanya pengantar materi?
3.Apakah siswa hanya mesin fotokopi pengetahuan?
Nah, pertanyaan tersebut tentu akan di jawab tidak. Pendidikan mestinya jadi ruang tempat manusia tumbuh utuh secara akal, hati, dan Tindakan.
Karena itu, memahami filsafat pendidikan bukan urusan dosen di kampus saja. Guru, siswa, bahkan orang tua pun perlu. Tanpa refleksi filosofis, pendidikan mudah terseret arus. Dengan kata lain, filsafat pendidikan menuntut kita melihat pendidikan secara holistic, tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan manusia seutuhnya. Konteks social, budaya, dan ekonomi Indonesia yang beragam menambah urgensi ini. Pendidikan tidak boleh melupakan akar budaya bangsa, sekaligus harus mampu menjawab tantangan global. Maka, filsafat pendiidkan sebagai studi teoritis dan praktis sangat penting agar pendidikan tidak kehilangan arah.
Secara sedarhana, filsafat pendidikan Adalah refleksi kritis tentang pendidikan yaitu apa tujuannya, bagaimana caranya, dan apa hasil yang diharapkan. Para filsuf seperti Plato hingga John Dewey telah lama memikirkan hal ini. Plato menekankan pendidikan sebagai sarana mencapai kebaikan tertinggi, sementara Dewey  melihat pendidikan sebagai proses hidup itu sendiri, bukan sekedar persiapan untuk masa depan.
Bayangkan pendidikan seperti sebuah perjalnan Panjang. Ada jalan, ada tujuan, ada penumpang, ada pengemudi. Tetapi perjalanan itu akan kacau kalua tidak ada kompas atau arah yang jelas. Oleh sebab itu, filsafat pendidikan memiliki peran yang penting sebagai penunjuk arah dalam dunia pendidikan. Filsafat pendidikan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Mengapa kita mendidik? Apa yang ingin kita capai? Bagaimana cara terbaik mencapainya? Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi tanpa dijawab, sekolah hanya akan berjalan seperti mesin produksi---mengeluarkan lulusan tanpa arah yang jelas.
Pada tujuan pendidikan, ada pandangan pragmatis yang menekankan keterampilan kerja dan ada pandangan idealis yang menekankan pembentukan karakter. Dalam sejarah, Plato menganggap pendidikan sebagai jalan menuju kebajikan, sementara John Dewey melihatnya sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Di Indonesia, Ki Hajar Dewantara menekankan pendidikan sebagai upaya menuntun anak agar selamat dan bahagia.
Pada proses pendidikan muncul berbagai pertanyaan, siapa yang paling penting dalam proses belajar? Dalam aliran klasik, guru adalah pusat (teacher -- centered). Namun dalam pandangan modern, siswa adalah subjek aktif (student -- centered). Dua pandangan ini terus berdebat dan praktik di lapangan biasanya menggabungkan keduanya.
Pada fungsi pendidikan dalam masyarakat berfungsi untuk melestarikan budaya, sekaligus membuka jalan mobilitas sosial. Artinya, pendidikan punya peran ganda yaitu untuk menjaga tradisi lama dan sekaligus menyiapkan gemerasi menghadapi masa depan.
Teori dalam pendidikan dapat diibaratkan sebagai fondasi sebuah rumah. Fondasi ini memang jarang terlihat, bahkan sering dilupakan, tetapi tanpanya seluruh bangunan akan mudah roboh. Begitu pula pendidikan, ia membutuhkan landasan teoretis yang kokoh agar proses belajar-mengajar tidak sekadar menjadi rutinitas tanpa arah. Ada beberapa pertanyaan teoretis yang selalu muncul dalam perbincangan filsafat pendidikan. Pertama, untuk apa pendidikan itu diselenggarakan? Sebagian berpendapat bahwa pendidikan bertujuan mencetak tenaga kerja terampil yang siap menghadapi dunia kerja. Inilah pandangan yang sering disebut pragmatis: pendidikan dianggap sebagai investasi ekonomi yang harus berujung pada produktivitas. Namun, ada pula pandangan idealis yang menekankan bahwa pendidikan seharusnya membentuk manusia yang bermoral, berkarakter, dan mampu hidup dengan penuh makna. Pandangan ini melihat pendidikan bukan hanya untuk "hidup hari ini", tetapi juga untuk membangun peradaban jangka panjang.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana pendidikan seharusnya berlangsung? Dalam tradisi klasik, guru dianggap sebagai pusat pengetahuan; ia mentransfer ilmu kepada siswa yang dipandang pasif. Model ini dikenal sebagai teacher-centered. Namun, perkembangan zaman melahirkan pendekatan lain yang melihat siswa sebagai subjek aktif. Pandangan student-centered ini meyakini bahwa belajar akan lebih bermakna ketika siswa terlibat langsung dalam prosesnya, mengeksplorasi, dan membangun pengetahuannya sendiri.
Pertanyaan ketiga, apa fungsi pendidikan dalam masyarakat? Ada pandangan yang menempatkan pendidikan sebagai "tangga sosial"---jalan untuk memperbaiki nasib, meningkatkan status, dan mencapai kesejahteraan. Namun, ada juga pandangan lain yang menekankan pendidikan sebagai "penjaga budaya." Dalam perspektif ini, pendidikan berfungsi melestarikan nilai, tradisi, dan kearifan lokal agar tidak hilang ditelan modernisasi.
Dari ketiga pertanyaan tersebut tampak jelas bahwa teori pendidikan bukan sekadar wacana akademik yang tersimpan di perpustakaan. Ia adalah alat refleksi untuk menimbang apakah praktik pendidikan kita sudah berjalan sesuai arah yang diharapkan, atau justru hanya mengikuti arus tanpa tujuan jelas. Dengan kata lain, teori pendidikan adalah cermin yang membantu kita melihat apakah sekolah benar-benar mendidik manusia seutuhnya, atau sekadar menghasilkan lulusan yang pandai menghafal tetapi kehilangan makna hidup.
Jika teori pendidikan ibarat kompas yang menunjukkan arah, maka praktik pendidikan adalah perjalanan nyata yang kita tempuh setiap hari. Teori bisa terdengar indah di ruang kuliah, tetapi yang benar-benar menentukan adalah bagaimana ia diwujudkan dalam ruang kelas, kurikulum, metode mengajar, dan sistem penilaian.
Pertama, mari melihat kurikulum. Kurikulum sejatinya Adalah wajah filosofi pendidikan yang dianut suatu bangsa. Jika kurikulum terlalu sarat dengan hafalan, maka pendidikan cenderung menekankan reproduksi pengetahuan semata. Namun, bila kurikulum memberi ruang bagi eksplorasi, diskusi, dan kreativitas, maka pendidikan berjalan menuju pengembangan manusia seutuhnya. Pertanyaan mendasarnya selalu sama: Apakah kurikulum kita sekadar menjejalkan isi buku teks, atau justru membuka jalan bagi anak untuk menemukan dunianya sendiri?
Kedua, metode mengajar. Cara guru berinteraksi dengan siswa merupakan refleksi langsung dari filsafat pendidikan. Apabila guru hanya berdiri di depan kelas dan berceramah, siswa ditempatkan sebagai pendengar pasif. Sebaliknya, jika guru membuka ruang dialog, eksperimen, bahkan kesalahan, maka siswa akan tumbuh sebagai individu yang berpikir kritis dan kreatif. Guru, dalam hal ini, bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing perjalanan intelektual dan moral.
Ketiga, penilaian. Ujian kerap menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan. Namun, apakah ujian hanya mengukur hafalan lewat soal pilihan ganda? Atau juga menilai kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, dan menyelesaikan masalah nyata? Penilaian yang terlalu sempit berisiko mereduksi makna belajar hanya menjadi angka, bukan perkembangan manusia.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan Merdeka Belajar mencoba memberi napas baru. Ide dasarnya adalah memberi siswa lebih banyak ruang bereksperimen dan mengurangi beban administratif bagi guru. Guru didorong menjadi fasilitator yang menuntun, bukan sekadar "mesin penyampai materi." Siswa diberi kesempatan menemukan jalannya sendiri melalui proyek, kolaborasi, dan pengalaman nyata.
Namun, praktik di lapangan sering tidak semulus yang diharapkan. Banyak guru masih terbebani administrasi, kurikulum kadang kembali ke pola lama, dan kebebasan belajar belum sepenuhnya dipahami. Tanpa kesadaran filosofis, kebijakan ini berisiko hanya menjadi jargon indah di atas kertas. Karena itu, praktik pendidikan memerlukan refleksi terus-menerus. Filsafat pendidikan mengingatkan kita bahwa tujuan pendidikan bukanlah tumpukan laporan atau sekadar nilai ujian, melainkan pertumbuhan manusia. Praktik pendidikan yang berpijak pada filsafat akan lebih manusiawi, lebih kontekstual, dan lebih relevan dengan kehidupan nyata.
Filsafat pendidikan bukanlah satu suara tunggal. Ia ibarat sebuah orkestra, di mana setiap aliran membawa nada dan ritmenya sendiri. Ada esensialisme, yang menekankan pentingnya hal-hal dasar yaitu membaca, menulis, berhitung merupakan sebagai fondasi utama. Pandangan ini menegaskan bahwa sebelum melompat jauh, anak perlu pijakan kokoh pada keterampilan elementer. Sebaliknya, progresivisme melihat pendidikan sebagai pengalaman yang hidup. Belajar bukan sekadar duduk di kelas, tetapi terlibat langsung dalam pemecahan masalah nyata. Sekolah, menurut pandangan ini, seharusnya menjadi laboratorium kehidupan, tempat anak berlatih menghadapi tantangan yang akan ditemuinya di dunia luar. Ada pula eksistensialisme, yang menekankan kebebasan individu. Dalam kerangka ini, pendidikan bukan hanya menyiapkan tenaga kerja atau melestarikan budaya, melainkan membantu setiap siswa menemukan makna hidupnya sendiri. Siswa dipandang sebagai pribadi unik, yang tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti pola seragam.
Ketiga aliran yang disebutkan di atas dan banyak aliran lain dalam filsafat pendidikan sesungguhnya sama-sama berharga. Mereka menawarkan lensa berbeda untuk melihat hakikat belajar. Namun, masalah muncul ketika kita berhadapan dengan perubahan zaman yang bergerak begitu cepat. Dunia digital, kecerdasan buatan, dan derasnya arus media sosial telah menggeser cara kita bekerja, berkomunikasi, bahkan berpikir. Anak-anak tumbuh dalam budaya layar yang serba instan, sementara sekolah sering masih berjalan dengan ritme abad lalu. Pertanyaannya kemudian: Apakah kita masih mampu mendidik manusia seutuhnya? Ataukah kita hanya akan mencetak generasi serba cepat, namun dangkal? Di sinilah filsafat pendidikan diuji. Ia harus mampu menjadi jembatan antara nilai lama yang penuh kebijaksanaan dengan tuntutan baru yang sangat praktis. Tantangan besar kita hari ini adalah menjaga keseimbangan itu. Jangan sampai pendidikan kehilangan akarnya, tetapi juga jangan sampai ia menjadi fosil yang ditinggalkan zaman. Filsafat pendidikan, pada akhirnya, bukan sekadar teori di perpustakaan, melainkan alat refleksi agar sekolah tetap relevan, manusiawi, dan bermakna.

Daftar Pustaka
Dewey, J. (1916). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Macmillan.
Plato. (2000). The Republic (Terjemahan Benjamin Jowett). Mineola, NY: Dover Publications.
Ki Hajar Dewantara. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Bagus, L. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Zuhairini, dkk. (1992). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
OECD. (2023). PISA 2022 Results. Paris: Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Kemendikbudristek RI. (2020). Kebijakan Merdeka Belajar. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Noddings, N. (2012). Philosophy of Education (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun