Mohon tunggu...
Rahmadhona
Rahmadhona Mohon Tunggu... Administrasi - International Affairs Graduate

"and one day, a girl with book will the girl writing them.."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Kembali Relevansi Non-Intervensi ASEAN

18 November 2016   22:10 Diperbarui: 19 November 2016   02:32 3774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip non intervensi adalah prinsip yang mengemukakan bahwa suatu negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan atau permasalahan dalam negeri dari negara lain. Prinsip ini merupakan satu dari lima prinsip peaceful coexistence yang tercantum dalam Piagam PBB yang kemudian diadopsi oleh para pendiri ASEAN dengan penyesuaian tertentu terhadap norma-norma regional.

Setiap negara anggota ASEAN pun telah sepakat untuk menentang setiap bentuk campur tangan suatu negara, baik sesama maupun bukan sesama anggota ASEAN terhadap masalah dalam negeri anggota lainnya. Prinsip non intervensi mengandung nilai-nilai penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial dari setiap negara, penyelesaian setiap masalah politik melalui perundingan dan peningkatan kerjasama dalam aspek keamanan dan pertahanan wilayah sesuai dengan salah satu tujuan pembentukan ASEAN yaitu “to promote peace in the region.”

Sayangnya, dari sisi fungsional, terdapat empat kewajiban atau obligasi yang harus dipatuhi setiap negara anggota ASEAN sebagai konsekuensi dari keberadaan prinsip non intervensi, yaitu: (1). Pantangan untuk mengkritisi tindakan apapun dari satu negara anggota terhadap warga negaranya, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak manusia, serta membuat keputusan mengenai keanggotaan suatu negara berdasarkan sistem atau bentuk pemerintahannya. (2). Mengkritisi tindakan dari satu negara yang melanggar prinsip non intervensi. (3). Menolak pengakuan (recognition), permohonan suaka (sanctuary), ataupun bentuk dukungan lainnya terhadap kelompok pemberontakan (rebel groups) yang mengganggu kestabilan nasional negara tetangga. (4). Menyediakan dukungan politis dan bantuan materi untuk negara yang sedang berkampanye menentang kegiatan-kegiatan subversif yang mengganggu stabilitas negara. Kebijakan non-intervensi ASEAN merupakan cerminan dari tujuan pembentukan organisasi tersebut dan juga salah satu dampak sejarah yang dialami oleh negara-negara anggota ASEAN.

Sebagaimana yang kita tahu bahwa ASEAN berdiri pada masa Perang Dingin dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet pada saat itu berlomba-lomba mempengaruhi politik domestik negara-negara Asia Tenggara, tidak terkecuali Indonesia. Dibentuknya ASEAN sebagai salah satu cara penangkalan negara-negara anggota dari intervensi politik Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selain itu, negara-negara anggota ASEAN yang sebagian besar adalah bekas negara jajahan terasa masih trauma dan merasa khawatir dengan terjadinya intervensi dari pihak luar. Jadi, wajar saja jika anggota ASEAN pada saat itu sepakat untuk mencantumkan prinsip non intervensi didalam ASEAN. Namun seiring dengan perkembangan politik global, nampaknya prinsip ini mulai harus ditinggalkan oleh ASEAN. Karena pada politik global saat ini, tidak hanya traditional security saja yang menjadi penting, tetapi masalah-masalah non-traditional security dengan masyarakat sipil sebagai pemeran utamanya, juga menjadi isu penting. 

Dalam menyelesaikan sengketa internal kawasan, salah satu peran utama Organisasi Regional adalah untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum negosiasi bagi negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik. Salah satunya adalah krisis pengungsi manusia perahu Rohingya, isu ini bukan tidak mungkin akan memaksa negara-negara ASEAN meninjau kembali prinsip non intervensi itu. Krisis tersebut merupakan salah satu ujian terbesar bagi ASEAN, terkait kemampuan melindungi nyawa para migran, kemungkinan banyaknya migran yang meninggal jika tidak ada negara yang menampungnya dan sejauh mana kelompok tersebut dapat mengkonfrontasi salah satu anggotanya.

Kasus ini juga mempertaruhkan legitimasi ASEAN sebagai suatu organisasi regional yang seharusnya melindungi masyarakatnya dan menciptakan perdamaian di kawasan. Lebih lanjut, prinsip non intervensi juga menyebabkan krisis kemanusiaan dalam suatu negara akan terus berlangsung dan individu maupun kelompok yang mengalami tekanan dari pemerintah negara tersebut tidak dapat mengakses aspek-aspek utama dari human security yang dicanangkan oleh PBB, yaitu keamanan bagi diri sendiri (personal security), keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan (food security), keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan (environmental security), keamanan komunitas (Community security) dan keamanan politik (political security). Yang mana semua itu tidak didapat oleh etnis Rohingya di Myanmar.Pertemuan beberapa kali dilakukan oleh anggota ASEAN terkait isu Rohingya tetapi Myanmar selalu memakai prinsip non intervensi ini sebagai senjata untuk menghentikan usaha-usaha ASEAN menekan Myanmar menyelesaikan kasus ini. Selain itu, tidak adanya dukungan dari negara-negara selain Indonesia, Malaysia dan Thailand yang terkena dampak pengungsi secara langsung untuk membuat ASEAN dapat mendesak Myanmar, membuat usaha ASEAN untuk ingin bertindak tegas menjadi tidak optimal. Singapura contohnya, tetap menganggap bahwa Rohingya merupakan kasus internal Myanmar dan harus diselesaikan sendiri oleh Myanmar.

Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN (1): (e) non-interference in the internal affairs of ASEAN member states, (f) respect the right of every member state to leads its national existence free from external interfence, subversion and coersion. Prinsip non intervensi selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog dan konsultasi.

Selain kasus Rohingya, konflik Laut Tiongkok Selatan juga menjadi ujian terbesar ASEAN. Tidak adanya peraturan yang mengikat di ASEAN membuat negara-negara yang terlibat di konflik tersebut tidak mendapatkan pertolongan yang optimal untuk menghadapi Tiongkok. Bagaimana Vietnam meminta tolong kepada ASEAN untuk menyelesaikan kasus Laut Tiongkok Selatan ternyata tidak pernah membuahkan hasil yang signifikan sehingga negara-negara anggota yang terlibat mulai menentukan kebijakannya sendiri di konflik tersebut. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena keamanan dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan sangat berpengaruh terhadap negara-negara Asia Tenggara secara keseluruhan. Filipina yang saat ini lebih memilih Tiongkok sebagai mitranya membuat kerjasama di tubuh ASEAN dipertanyakan.

ASEAN dilihat dunia sebagai organisasi regional terpenting di dunia selain Uni Eropa. Dengan semakin berkembangnya kawasan Asia Pasifik, sudah saatnya ASEAN memperkokoh kerjasama dan mempertegas aturan-aturan yang dapat mengikat negara-negara anggota untuk bersikap selaras melihat kawasan Asia Pasifik saat ini seakan menjadi kawasan masa depan yang semakin 'ramai'. Banyaknya kekuatan regional baru yang mencoba menjadi hegemoni dunia dan kehadiran Amerika Serikat dengan kebijakan rebalancing-nya membuat kawasan ini tidak pernah 'sepi' dari konflik. Prinsip non intervensi memang tetap dibutuhkan, yang harus dirubah adalah prinsip non intervensi yang dijalankan oleh ASEAN.

Pengecualian yang dimaksud adalah dalam kondisi-kondisi tertentu ASEAN boleh membantu permasalahan domestik anggotanya. Contohnya, pengecualian jika memang negara anggota yang sedang bermasalah meminta bantuan kepada ASEAN, ASEAN boleh mengintervensi negara tersebut hanya dalam urusan yang diminta oleh negara yang bersangkutan.

Atau pengecualian kedua adalah jika masalah domestik negara anggota itu ternyata berdampak pada keamanan negara anggota lainnya dan mengancam keamanan regional, seperti contoh kasus Rohingya yang telah menjadi beban negara anggota regional lainnya, ASEAN seharusnya boleh mengintervensi karena memang alasannya jelas, masalah tersebut telah menganggu keamanan regional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun