Pernahkah Anda duduk di warung kopi, lalu mendengar dua meja berbeda yang masing-masing membicarakan pihak di seberang"?
Meja pertama diisi orang-orang mapan: jas rapi, parfum mahal, bicara soal tender dan diplomasi. Meja satunya lagi diisi para aktivis: kaos oblong, mata berapi-api, bicara soal keadilan sosial dan nasib buruh.
Kalau kita duduk di tengah, yang terdengar seperti dua kutub yang berlawanan.
Bagaimana Elite Menilai Aktivis
Bagi sebagian elite, aktivis itu... ya, seperti lagu rock indie: liriknya keras, kadang fals, tapi nadanya selalu memprovokasi.
Mereka melihat aktivis sebagai tukang ribut, idealis tak tahu realitas, atau tukang demo yang lupa menghitung biaya bensin.
"Mereka pikir mengurus negara itu seperti mengurus grup WhatsApp keluarga, bisa langsung keluar kalau nggak cocok."
Bagaimana Aktivis Menilai Elite
Di sisi lain, aktivis memandang elite seperti karakter sinetron prime time: berdasi, punya banyak properti, dan sering jadi tokoh antagonis.
Bagi mereka, elite itu lambang kerakusan, terlalu dekat dengan rente, atau sibuk memoles citra sambil lupa kesengsaraan rakyat.
 "Mereka itu cuma mau foto di peresmian pabrik, tapi nggak mau lihat pekerja yang upahnya di bawah UMR."
Padahal, Ada Titik Temu
Masalahnya, kedua kubu ini sering lupa: mereka sebenarnya saling membutuhkan.
Elite butuh aktivis untuk mengingatkan arah kompas moral. Aktivis butuh elite untuk memastikan ide-ide perubahan tidak hanya berhenti di spanduk dan poster.
Elite dan aktivis itu seperti rem dan gas di mobil. Kalau cuma gas, ya nyungsep. Kalau cuma rem, ya mandek. Negara butuh keduanya.