Mohon tunggu...
Destinhuru Hend Dhito
Destinhuru Hend Dhito Mohon Tunggu... ASN dan Penulis

Fokus pada Solusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Elit Menilai Aktivis, dan Sebaliknya - Plus Tips Menjembatani Keduanya.

11 Agustus 2025   18:35 Diperbarui: 11 Agustus 2025   18:35 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


Pernahkah Anda duduk di warung kopi, lalu mendengar dua meja berbeda yang masing-masing membicarakan pihak di seberang"?
Meja pertama diisi orang-orang mapan: jas rapi, parfum mahal, bicara soal tender dan diplomasi. Meja satunya lagi diisi para aktivis: kaos oblong, mata berapi-api, bicara soal keadilan sosial dan nasib buruh.

Kalau kita duduk di tengah, yang terdengar seperti dua kutub yang berlawanan.

Bagaimana Elite Menilai Aktivis

Bagi sebagian elite, aktivis itu... ya, seperti lagu rock indie: liriknya keras, kadang fals, tapi nadanya selalu memprovokasi.
Mereka melihat aktivis sebagai tukang ribut, idealis tak tahu realitas, atau tukang demo yang lupa menghitung biaya bensin.

"Mereka pikir mengurus negara itu seperti mengurus grup WhatsApp keluarga, bisa langsung keluar kalau nggak cocok."

Bagaimana Aktivis Menilai Elite

Di sisi lain, aktivis memandang elite seperti karakter sinetron prime time: berdasi, punya banyak properti, dan sering jadi tokoh antagonis.
Bagi mereka, elite itu lambang kerakusan, terlalu dekat dengan rente, atau sibuk memoles citra sambil lupa kesengsaraan rakyat.

 "Mereka itu cuma mau foto di peresmian pabrik, tapi nggak mau lihat pekerja yang upahnya di bawah UMR."

Padahal, Ada Titik Temu

Masalahnya, kedua kubu ini sering lupa: mereka sebenarnya saling membutuhkan.
Elite butuh aktivis untuk mengingatkan arah kompas moral. Aktivis butuh elite untuk memastikan ide-ide perubahan tidak hanya berhenti di spanduk dan poster.

Elite dan aktivis itu seperti rem dan gas di mobil. Kalau cuma gas, ya nyungsep. Kalau cuma rem, ya mandek. Negara butuh keduanya.

Cara Menjembatani

Ngopi Bareng, Bukan Hanya Debat di Media. Jangan tunggu isu meledak. Bangun ruang percakapan santai. Kadang ide besar lahir di meja kopi, bukan di meja sidang.

Gunakan Bahasa yang Sama. Aktivis jangan hanya pakai jargon "perubahan struktural", elite jangan hanya pakai istilah "kalkulasi politik". Cari kosakata yang dimengerti kedua pihak.

Proyek Kolaboratif Kecil. Mulai dari hal konkrit: program desa, beasiswa, atau inisiatif lingkungan. Kepercayaan itu tumbuh dari kerja bareng.

Pahami Ketakutan Masing-Masing. Elite takut kehilangan stabilitas, aktivis takut perubahan jadi kosmetik. Mengakui ketakutan itu langkah awal untuk mencari solusi win-win.

Penutup

"Kita ini seperti keluarga yang suka ribut di meja makan, tapi tetap pulang ke rumah yang sama. Elite dan aktivis itu sebenarnya satu rumah besar bernama Indonesia. Kalau kita sibuk saling mencurigai, rumah ini bisa bocor.
Tapi kalau saling percaya, rumah ini bisa jadi istana --- bukan cuma untuk elite, bukan cuma untuk aktivis, tapi untuk semua yang tinggal di dalamnya.

Oleh: Destinhuru Hend Dhito dan Artificial Intelligence

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun