Mohon tunggu...
Dhita Prahita
Dhita Prahita Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Bali Hijau: Antara Investasi Infrastruktur dan Kesucian Alam Pulau Dewata

13 Oktober 2025   03:30 Diperbarui: 13 Oktober 2025   01:02 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Ketika pesawat mendarat di Bandara Ngurah Rai para wisatawan disambut dengan pemandangan indah sawah hijau, pura megah, dan laut biru yang menenangkan. Namun di balik pesona Pulau Dewata itu tersimpan kegelisahan yang kian nyata. Bali kini berada di persimpangan jalan antara mengejar kemajuan ekonomi lewat investasi infrastruktur besar-besaran atau menjaga kesucian alam dan budaya yang menjadi napas kehidupan masyarakatnya.

Pembangunan jalan tol laut, bandara baru, dan kawasan pariwisata memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Namun, di sisi lain pembangunan masif ini sering kali menimbulkan paradoks. Hutan adat terancam tergusur, lahan subak semakin menyempit, dan sumber air suci (tukad serta pancoran) mulai tercemar. Pertanyaannya sampai di mana pembangunan bisa dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai suci yang telah diwariskan leluhur?

Di tengah dilema itu ajaran Tri Hita Karana kembali menggema sebagai filosofi penting untuk menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian. Bali yang hijau dan suci bukan hanya impian tetapi tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa pembangunan tidak menghapus jati diri Pulau Dewata.

Latar Belakang Masalah

Bali menjadi salah satu ikon pariwisata dunia, tetapi keberhasilannya menyimpan sisi gelap, ketimpangan sosial, krisis air, dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan tak terkendali. Data dari Badan Lingkungan Hidup Bali mencatat bahwa volume sampah di wilayah Denpasar dan Badung mencapai lebih dari 1.500 ton per hari.

Pemerintah pusat dan daerah berupaya menyeimbangkan pembangunan melalui berbagai kebijakan, seperti RPJMN 2025--2029 dan Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2023 tentang Haluan Pembangunan Bali Masa Depan. Kedua dokumen ini menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan berbasis budaya lokal dan prinsip Tri Hita Karana (THK)

Namun di lapangan sering muncul konflik kepentingan antara ekonomi dan spiritualitas. Misalnya proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol laut, pengembangan kawasan wisata di daerah suci, atau perluasan kawasan industri sering memicu penolakan masyarakat adat. Di sinilah dilema Bali hijau muncul. Bagaimana menyeimbangkan kemajuan ekonomi tanpa mengkhianati kesucian alam dan nilai budaya?

Pembahasan

1. Pembangunan Bali Era Baru: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Sejalan dengan RPJMN 2025--2029 arah pembangunan nasional berfokus pada transformasi ekonomi hijau, ketahanan ekologi, dan pemerataan wilayah. Bali, melalui visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, dengan misi "menjaga kesucian dan keharmonisan alam, manusia, dan budaya." Kebijakan daerah menargetkan Bali menjadi provinsi dengan 30% kawasan lindung, transportasi hijau, dan energi bersih pada 2045. Namun, di sisi lain, realitas menunjukkan tekanan besar akibat pembangunan pariwisata dan infrastruktur. Proyek bandara baru di Buleleng, perluasan jalan tol Gilimanuk-Mengwi, serta pembangunan hotel di kawasan suci menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya ruang ekologis dan spiritual.

Masyarakat Bali memandang alam bukan sekadar sumber daya tetapi entitas yang memiliki kesucian. Ketika gunung, laut, atau sungai rusak karena eksploitasi bukan hanya ekosistem yang terganggu tetapi juga keseimbangan spiritual. Hal ini mencerminkan ketegangan antara modernitas dan kearifan lokal.

2. Tri Hita Karana sebagai Kompas Pembangunan

Ajaran Tri Hita Karana menegaskan bahwa kesejahteraan sejati tercapai melalui harmoni antara tiga relasi utama:

  • Parahyangan: hubungan manusia dengan Tuhan.
  • Pawongan: hubungan manusia dengan sesama.
  • Palemahan: hubungan manusia dengan alam.

Dalam konteks pembangunan, ketiga nilai ini dapat menjadi pedoman berikut.

  • Parahyangan mengingatkan agar setiap pembangunan menghormati situs suci dan spiritualitas lokal.
  • Pawongan menegaskan pentingnya keadilan sosial dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
  • Palemahan menekankan tanggung jawab ekologis seperti menjaga tanah, air, dan udara agar tetap lestari.

Pemerintah Bali sebenarnya telah mengintegrasikan prinsip THK dalam berbagai kebijakan seperti RTRW Bali 2023--2043 yang menggabungkan fungsi lindung dan fungsi budidaya secara seimbang. Namun implementasi di lapangan masih sering terhambat oleh kepentingan investasi yang mendesak.

3. Ketegangan antara Pembangunan dan Kesucian Alam

Fenomena "dilema Bali hijau" terlihat nyata dalam berbagai proyek infrastruktur. Di satu sisi proyek jalan tol laut dan pengembangan pelabuhan dinilai penting untuk konektivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun pembangunan di wilayah pesisir sering menimbulkan dampak ekologis seperti abrasi pantai dan pencemaran laut.

Kasus pembangunan hotel di sekitar kawasan suci Besakih dan Danau Batur juga menjadi sorotan. Masyarakat adat menolak keras karena proyek tersebut dianggap mengganggu kesucian alam. Konflik ini mencerminkan ketegangan klasik antara nilai spiritual (Parahyangan) dan kebutuhan ekonomi (Pawongan).

Dalam konteks Tri Hita Karana pembangunan semestinya tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperhatikan keseimbangan ekologi dan spiritualitas. Bali tidak bisa hanya menjadi "mesin pariwisata," tetapi harus tetap menjadi pulau suci yang berjiwa.

4. Kearifan Lokal sebagai Fondasi Pembangunan Berkelanjutan

Bali memiliki banyak contoh penerapan prinsip THK dalam kebijakan lokal. Salah satu contohnya adalah sistem subak. Sistem subak merupakan wujud nyata dari harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Melalui sistem irigasi tradisional (subak) air tidak hanya dianggap sebagai sumber kehidupan, tetapi juga anugerah suci yang harus dijaga bersama.

Program Sad Kerthi yang dijalankan pemerintah daerah juga memperluas konsep THK dalam enam dimensi keseimbangan, yaitu: darat (Jagat Kerthi), laut (Segara Kerthi), udara (Atma Kerthi), manusia (Jiwa Kerthi), air (Danu Kerthi) dan sumber pengetahuan (Wana Kerthi). Program ini menjadi upaya konkret untuk melestarikan alam tanpa menghambat pembangunan ekonomi.

Keterlibatan masyarakat adat juga penting. Desa adat memiliki peran strategis dalam mengawasi penggunaan lahan dan menjaga situs suci. Melalui prinsip menyama braya (persaudaraan) dan ngayah (kerja sukarela), masyarakat menjadi pelaku utama pembangunan, bukan hanya penonton.

5. Tantangan: Ketika Ekonomi Mengalahkan Ekologi

Meski banyak kebijakan sudah menekankan keberlanjutan, praktik di lapangan sering menunjukkan sebaliknya. Orientasi ekonomi jangka pendek sering kali mengorbankan lingkungan jangka panjang.

Misalnya, pembangunan kawasan wisata premium dengan label "ekowisata" kadang hanya menjadi slogan sementara faktanya terjadi alih fungsi lahan pertanian dan peningkatan limbah pariwisata. Urbanisasi cepat di wilayah Denpasar--Badung juga menyebabkan ketimpangan ruang hijau, menurunkan kualitas air tanah, dan menimbulkan banjir musiman.

Inilah tantangan utama Bali dan bagaimana memastikan pembangunan tidak kehilangan ruhnya? Filsafat Tri Hita Karana seharusnya tidak hanya menjadi jargon budaya, melainkan landasan moral dan ekologis dalam setiap keputusan pembangunan.

6. Solusi: Mewujudkan Bali Hijau yang Seimbang

Untuk keluar dari dilema ini, beberapa langkah strategis dapat diambil, yaitu:

  1. Integrasi THK dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan.

Setiap proyek infrastruktur harus melalui penilaian berbasis THK (apakah menghormati kesucian, melibatkan masyarakat, dan menjaga lingkungan).

  1. Peningkatan peran masyarakat adat dan lembaga desa

Desa adat perlu dilibatkan secara aktif dalam menentukan arah pembangunan agar keputusan tidak hanya berbasis ekonomi tetapi juga spiritual dan sosial.

  1. Penguatan pendidikan dan literasi ekologis.

Sekolah dan perguruan tinggi dapat menjadi agen perubahan dengan mengajarkan nilai THK secara kontekstual dan aplikatif.

  1. Transparansi investasi dan tata kelola lingkungan.

Pemerintah perlu memastikan bahwa proyek-proyek besar tidak hanya menguntungkan investor tetapi juga membawa manfaat ekologis dan sosial bagi masyarakat lokal.

Penutup

Bali sedang menghadapi dilema besar antara mengejar modernitas dan menjaga kesucian. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur dan investasi menjadi kebutuhan ekonomi. Namun di sisi lain pembangunan yang berlebihan berpotensi merusak harmoni yang selama ini menjadi kekuatan utama Pulau Dewata.

Melalui penerapan Tri Hita Karana, Bali dapat menemukan jalan tengah yang bijak, menyatukan ekonomi, budaya, dan ekologi dalam satu visi pembangunan yang berkelanjutan. Parahyangan mengingatkan kita untuk menghormati yang suci, Pawongan menuntun pada solidaritas sosial, dan Palemahan mengajarkan tanggung jawab terhadap bumi.

Pulau ini bukan sekadar destinasi wisata tetapi juga ruang spiritual yang diwariskan untuk dijaga. Masa depan Bali bergantung pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kesucian. Jika harmoni dapat dijaga maka Bali akan tetap menjadi pulau hijau yang bukan hanya indah dipandang, tetapi juga damai dalam jiwa.

Daftar Pustaka

  • Mayoni, K. D., Widhiyaningsih, I. H., Dharnendri, L. Y., Semaranatha, I. K., & Wiryasanjaya, M. T. 2023. Implementasi Ajaran Tri Hita Karana dalam Pembangunan Masyarakat Bali. Gudang Jurnal Multidisiplin Ilmu, 1(5), 90-95. 
  • Mendera, I. N., & Watra, I. W. 2019. Implementasi Tri Hita Karana di SMP Negeri 5 Singaraja.
  • Pemerintah Provinsi Bali. 2025. Nangun Sat Kerthi Loka Bali: Roadmap Bali Hijau dan Berkelanjutan.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025--2029.
  • Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2023 tentang Haluan Pembangunan Bali Masa Depan.
  • Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali 2023--2043.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun