Mohon tunggu...
Dhinar S. Kusumadwi
Dhinar S. Kusumadwi Mohon Tunggu... Lainnya - .

Pembaca yang menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Titi Kolo Mongso: Sebuah Perenungan

23 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 23 Agustus 2020   07:22 4705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tradisi satu muharram/ satu suro dalam budaya jawa (Sumber: merahputih.com)

Lantunan lagu Titi Kolo Mongso mengalun lembut dari ponsel saya pagi ini. Terdengar syahdu, sekaligus sendu. Sejatinya, kecintaan saya pada lagu ini sudah dimulai beberapa tahun yang lalu. Bertepatan dengan perkenalan saya dengan sang seniman pelantun lagu, Sujiwo Tejo, melalui bukunya yang berjudul Rahvayana: Aku Lala Padamu. Namun, beberapa hari yang lalu, saya kembali 'dipertemukan' dengan masterpiece ini melalui cara yang tidak terduga.

Beberapa hari lalu, bertepatan dengan perayaan satu suro dalam kalender Jawa, sebuah akun di Twitter mengunggah sebuah video yang berisi lagu Titi Kolo Mongso disertai ucapan selamat atas bergantinya tahun bagi masyarakat Jawa. Cuitan tersebut mendapat berbagai respon dari warganet, namun kebanyakan menyatakan bahwa lagu tersebut terdengar mistis. Beberapa malah mengatakan mereka langsung merinding setelah mendengarnya. Sebagian lain menimpali dengan mitos-mitos mengenai keangkeran tanggal satu suro.

Melihat respon warganet, saya jadi menyadari satu hal. Entah kenapa, lagu yang berbahasa Jawa sering diidentikkan dengan klenik dan sebangsanya. Lagu-lagu ini dianggap erat kaitannya dengan praktek perdukunan dan ilmu hitam. Padahal lagu Titi Kolo Mongso ini memiliki muatan makna yang dalam dan penuh filosofi. Dirilis pada tahun 1998, Sujiwo Tejo mengaku bahwa lirik lagu ini dirampungkan menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Dikatakan, lagu ini mengandung warna revolusi dan warna amarah sosial pada masanya.

Untuk memahami maknanya, kita bisa memulai dari tiga larik pertama. /Wong takon wosing dur angkoro/ Antarane riko aku iki/ Sumebar ron ronaning koro (Orang orang bertanya kapan angkara murka berakhir/ Diantara kau dan aku/ Tersebar daun daun kara).

Bait lagu ini dibuka dengan sebuah pertanyaan. Si penanya merupakan orang ketiga yang mempertanyakan hubungan antara “kau” dan “aku”. Di sini, si penutur lagu merupakan orang pertama yaitu tokoh “aku” yang sedang berdialog dengan si “kau” yang nantinya akan dipanggil “ni mas” atau “dinda”.

Terdapat dua konsep murka dalam kepercayaan jawa, yaitu loba murka dan angkara murka. Loba murka adalah nafsu atau kehendak yang menitikberatkan pada kuantitas urusan ragawi. Misalnya keinginan atas makanan, harta benda, hubungan seksual, dan hal lain yang bersifat jasadi serta dalam jumlah yang besar.

Sedangkan, Angkara murka sendiri adalah nafsu atau kehendak yang menitikberatkan pada kehebatan status pencapaian. Misalnya keinginan untuk sangat kaya, sangat luhur, sangat disegani, dan segala kebesaran yang melekat pada dinamika sosial masyakarat yang ada.

Kesimpulannya, Loba murka ini berada di raga dan Angkara murka di jiwa atau hati. Dalam lagu ini, problem yang terjadi antara “kau” dan “aku” lebih spesifik pada makna jiwa atau pada hati nurani. Larik ketiga menerangkan bahwa angkara murka yang terjadi bagaikan daun kara yang gugur dan tersebar. Terjadi di berbagai bidang kehidupan dan bersifat meluas.

Lalu tiga larik berikutnya. /Janji sabar, sabar sak wetoro wektu/ Kolo mangsane, ni mas/ Titi kolo mongso (Bersabarlah untuk sementara waktu/ Suatu ketika, dinda/ Pada suatu ketika).

Kehidupan, dalam larik ini, digambarkan sebagai konsep kesabaran dalam waktu yang sementara. Bahwa kehidupan sejatinya adalah masa kini, masa dimana manusia berharap akan datang suatu perbaikan di masa depan. Masa dimana manusia mengisinya dengan 'sabar', dengan melakukan hal yang benar. Tidak terbawa amarah ataupun nafsu.

Kemudian, pada suatu ketika, akan terjadi hal yang dialami oleh semua makhluk fana. Kematian. Atau dalam budaya Jawa, moksa merupakan sebuah konsep dimana manusia akan kembali ke hakikatnya. Kembali pada ketiadaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun