Mohon tunggu...
Dhimas Raditya Lustiono
Dhimas Raditya Lustiono Mohon Tunggu... Perawat - Senang Belajar Menulis

Perawat di Ruang Gawat Darurat | Gemar Menulis | Kadang Merasa Tidak Memiliki Banyak Bakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Yang Tenaga Medis Rasakan ketika Rumah Sakit Dianggap Ladang Bisnis Selama Pandemi

5 Juli 2020   14:36 Diperbarui: 6 Juli 2020   10:53 2098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock.com Gambar oleh fernando zhiminaicela dari Pixabay

Suatu pagi rekan sejawat saya menunjukkan komentar warganet di instagram terkait pelayanan swab test di suatu rumah sakit swasta. Singkat cerita rumah sakit tersebut tengah mempromosikan fasilitas rapid test dan pcr/swab test disertai dengan mahar yang harus dibayar. 

Dari postingan tersebut rupanya tidak ada satupun komentar positif dari netizen, semua komentar tersebut bernada sinis dan sarkas yang membuat saya mengernyitkan dahi. Kurang lebih komentarnya seperti ini.

            "Edan jadi ladang bisnis baru ujung-ujungnya."

            "Padahal Penyakit yang bisa sembuh tanpa obat."

            "Dadi proyek." (emote ketawa dengan air mata)

            "Antara wabah, takdir dan bisnis."

            "Kemurahen lurr melas wong sugih duite ora kelong." artinya: "terlalu murah saudara, kasihan orang kaya duitnya nggak berkurang."

Dahi saya tambah mengernyit dengan adanya isu pembuatan Surat Keterangan Dokter (SKD) untuk para perantau yang dianggap sebagian masyarakat sebagai lahan bisnis bagi Rumah Sakit. Tentu saja perlu diketahui bahwa pembuatan SKD memang tidak mungkin diklaim oleh BPJS.

Pada kesempatan kali ini izinkan saya bercerita. Bahwasanya kondisi keuangan Rumah Sakit atau klinik di Indonesia tengah dalam kondisi tidak baik-baik saja. Namun Rumah Sakit harus tetap membuka pelayanannya 24 jam tanpa mengenal libur walau sehari.

Salah satu yang menjadi sorotan bagi kaum pekerja yang hendak kembali ke perantauan adalah Mahalnya tarif swab test yang menjadi syarat untuk bisa melakukan perjalanan jauh.

Setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan tarif PCR/swab test Jauh lebih mahal daripada UMK Buruh di Jogja.

Pertama adanya 2 tahap pemeriksaan PCR mulai dari ekstraksi dan PCR itu sendiri. Kedua. alat-alatnya juga mahal bosque. Pengambilan sampel dengan metode swab juga harus ditangani pada laboratorium dengan standar minimal BSL-2, dan SDMnya harus terlatih dengan resiko kerja yang no play play.

Petugas yang yang melakukan swab test pada pasien juga wajib menggunakan alat pelindung diri yang panasnya bisa membuat tubuhnya banjir keringat. AC di rumah sakit-pun tidak mampu menembus kain hazmat yang rapat menutup tubuh para tenaga kesehatan.

Di sisi lain, tenaga kesehatan juga harus kuat menjadi sasaran omelan pasien, apalagi ketika ada pasien yang diketahui positif covid setelah menjalani swab test. Artinya pasien tersebut tidak bisa mendapatkan SKD untuk dapat bekerja di luar kota.

"Kalau saya tidak kerja anak istri saya mau makan apa?" kalimat tersebut kerap terlontar pada pasien yang dinyatakan positif melalui swab atau menunjukkan hasil reaktif saat rapid test.

Mendengar kalimat tersebut, para tenaga kesehatan-pun dihadapkan dengan kebingungan tiada tara. Para Nakes tidak pernah dilatih untuk menjadi motivator ulung seperti Bong Chandra atau Mario teguh, sehingga tidak ada kalimat indah yang bisa nakes ucapkan selain, "isolasi mandiri selama 14 hari dulu ya pak/bu," hanya itu kalimat yang bisa nakes ucapkan sebagai upaya meredam penyebaran covid-19 yang masih saja mengancam di beberapa wilayah.

Selama pandemi covid-19 rumah sakit justru mengalami penurunan angka kunjungan baik rawat jalan ataupun rawat inap. Hal ini terjadi karena adanya anggapan masyarakat bahwa rumah sakit adalah sarang covid-19.

Jangankan rumah sakit, Perawat yang numpang ngekost aja bisa diusir dari kamarnya baik secara halus atau secara sangat halus oleh pemilik kost.

Test PCR secara mandiri tentu saja ditujukan bagi individu yang memiliki kepentingan seperti melakukan perjalanan ke luar daerah atau penerbangan ke luar pulau.

Berbeda jika PCR tersebut dilakukan untuk pasien yang terindikasi covid-19, maka biaya test PCR ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

***

Saat ini rumah sakit swasta pada umumnya telah melakukan transformasi, dimana rumah sakit besar dan rumah sakit bertaraf internasional telah menyulap bangunannya untuk dapat dikunjungi siapapun baik yang sakit ataupun yang hanya sekedar cek kesehatan.

Bahkan rumah sakit dan klinik swasta berlomba-lomba membuat video promosi untuk diunggah di youtube, harapannya agar nama rumah sakit menjadi terkenal. Hal ini tentu saja sudah menjadi bagian dari strategi promosi bisnis di sektor layanan kesehatan.

Namun jika sudah berbicara tentang bisnis, maka tenaga kesehatan bisa jadi akan berada dalam posisi low manajer. Karena tenaga medis tidak berhak menetapkan tarif pelayanan kepada pasien. Sehingga mahalnya fasilitas kesehatan seperti Rapid Test dan PCR tentu diluar kewenangan tenaga kesehatan.

Hal yang cukup menyesakkan adalah ketika masyarakat wabil khusus warganet yang menganggap bahwa selama pandemi covid-19 tenaga kesehatan semakin panen duit. Mereka juga menganggap rumah sakit panen cuan dengan menambah fasilitas seperti Rapid Test, Swab Test dan SKD.

Padahal, tidak sedikit rumah sakit yang tidak mampu membayar THR karyawannya,  dari dokter spesialis hingga cleaning service. Peningkatan anggaran belanja APD dan menurunnya jumlah pasien yang berobat, tidak serta merta membuat pelayanan rapid tes, PCR dan SKD mampu menyelamatkan gonjang-ganjing keuangan rumah sakit.

Dampaknya pun sangatlah terasa, tidak sedikit karyawan di rumah sakit yang terpaksa kas bon untuk sekedar memenuhi kebutuhan lebaran.

Dokter anestesi mengalami penurunan pendapatan secara drastis karena jarang operasi, bahkan pedagang bakso dan pedagang buah di sekitar rumah sakit juga mengalami penurunan pendapatan karena selama pandemi pasien tidak boleh dibesuk.

Artinya, meski kapal kita berbeda namun kita berada dalam badai yang sama, seperti kata penulis Damian Barr "we are not all in the same boat, we are all in the same storm"

Sekali lagi, covid-19 tidak membuat rumah sakit dan tenaga kesehatan menjadi semakin kaya secara finansial. Pada awal pandemi ini dimulai, justru banyak rumah sakit yang membuka donasi Alat Pelindung Diri (APD) karena mahalnya harga masker dan sulitnya mendapatkan APD.

Satu hal, tidak ada rumah sakt yang suka dengan pandemi covid, bahkan seluruh tenaga kesehatan-pun ingin agar pandemi ini segera berakhir.

Keberadaan paket rapid tes atau swab test hanyalah fasilitas yang ditawarkan Rumah Sakit terhadap masyarakat yang benar-benar membutuhkan pemeriksaan untuk keperluan tertentu seperti memenuhi persyaratan agar bisa kembali ke perantauan.

Selama pandemi ini, tenaga kesehatan juga harus bersikap legowo ketika melihat anggota DPR menggunakan hazmat, padahal tidak sedikit tenaga kesehatan yang terpaksa menggunakan jas hujan saat bertugas karena tidak tersedianya hazmat yang memadahi di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.

Lalu apa yang saya rasakan ketika masyarakat menganggap Rumah Sakit menjadi ladang bisnis sehingga membuat tenaga medis makin kaya?

Tentu saja saya anggap hal itu sebagai doa. Namun jika masyarakat masih saja menganggap Rumah Sakit sebagai lahan bisnis covid-19, saya merasa perlu menghibur diri dengan melantunkan lagu dari Geisha "Mengapa Kau Benar, dan Aku Selalu Salaaaah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun