Mohon tunggu...
Pendidikan

Suluh Perlawanan untuk Sekolah di Pedalaman Papua

4 Januari 2019   22:46 Diperbarui: 4 Januari 2019   22:48 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Meningkatkan akses pendidikan dasar berkualitas merupakan moto mandiri, tidak saja memberikan optimisme sekaligus meluruskan prasangka buruk pendidikan di Papua, namun ikut menambal bolongnya teknikalisasi program pendidikan nasional. Baik YKW ataupun Yasumat, keduanya mengakui "perpanjangan tangan Gereja Injili di Indonesia."

Gereja sangat berperan penting melakukan pengadaan hingga perubahan ditubuh orang Papua. Sebagai contoh aliansi terkait, di laman daring ini yang berbahasa Inggris, solidaritas mengkampanyekan "tanah Papua adalah tanah kedamaian" dipanggul oleh pemimpin keagamaan dengan turut mencampur adukkan orientasi nasional. "Perdamaian" agar memberikan rasa aman bagi orang Papua, lepas dari stigma negatif: suka konflik, tidak teratur, lebih buruk mungkin tidak berpendidikan.  

Kemajuan (baca: modernisasi) demi generasi bijak Papua dibuktikan dengan orang Papua terus-terusan melakukan mobilitas ke lokasi di mana kualitas sekolah dikata mumpuni. 

Bertatap, berdialog, sampai berkesempatan tinggal bersama orang farang (orang asing dari negara Barat). Tidak ragu lagi disiplin pendidikan menghantarkan mereka kepada mimpi kesejahteraan. Dan mimpi tersebut sedang dibayangkan lagi oleh orang Papua di pedalaman.

Agar orang Papua bisa modern, kita dapat mengatakan bahwa baca tulis harus diajarkan di sebuah institusi bernama sekolah.  Literasi seperti yang diprogramkan oleh beberapa lembaga donor internasional kurang lebih berperan sebagai alat ukur kualitas dan label kompetitif yang berfungsi di luar kelompok kekerabatan orang Papua. Literasi yang kemudian menjadi praktik sosial membuat personalitas orang Papua "menjadi tubuh" politik suatu bangsa.

Deliberasi pendidikan di sini memang dimaksudkan membuat diri menjadi paham bahwa perilakunya nanti berujung pada soal demokrasi dalam arena nasional atau global. 

Cepat atau lambat, radikalisme atau bukan, sama sama meninggalkan tradisi. Martha C. Nussbaum (2009, Education for Profit, Education for Freedom) memberi istilah "narrative imagination", misalnya penerapan kesusasteraan dan seni sebagai bagian proyek pembangunan manusia secara demokratis: mengkritisi diri sendiri dan berfikir kritis muasal kepemilikan akan suatu tradisi tertentu. 

Manusia cenderung ikut tradisi yang otoritatif bersamaan dengan tekanan kawanannya. Mengatasi tatanan tersebut diperlukan intervensi oleh aliansi, seperti dialog antar individu yang memiliki perbedaan pendapat. Barangkali laga ini harus dikonstruksi sedemikian rupa supaya progresif seperti dunia yang modern ini.

Sekolah Ada di Jalur Perlawanan

Apakah bersekolah melegitimasi orang Papua menjadi modern? Peneliti anrtropologi, Joel Robbins (2004, Becomming Sinners), mungkin menyimpan jawaban pula terhadap persoalan lanjutan debat kusir persekolahan di pedalaman Papua.  Mengapa Robbins mumpuni, lebih dulu saya akan memaparkan satu pengakuan Bjork (2006).

Penelitian serinya di Indonesia mengail respon pengajar atau guru yang tidak lain juga pegawai negeri sipil. Bjork baru menyadari kemudian setelah merampungkan beberapa wawancara: bahwa ada jalan berbeda dari budaya mengajar di Indonesia secara tradisional, dan dari asumsi ini, Bjork cepat-cepat membayangkan arti komunitas tempatan di arena pendidikan Indonesai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun