Laut Sulu-Sulawesi memiliki peranan yang sangat penting bagi Indonesia, Malaysia, dan Filipina, baik dari aspek keamanan, ekonomi, maupun geopolitik. Kawasan ini merupakan wilayah perairan strategis yang menjadi jalur utama perdagangan internasional dan penghubung antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Setiap tahun, ribuan kapal dagang dan tanker minyak melintasi Laut Sulu-Sulawesi, mengangkut kargo bernilai miliaran dolar yang sangat vital bagi perekonomian ketiga negara dan kawasan Asia Tenggara. Secara ekonomi, Laut Sulu-Sulawesi menjadi rute pelayaran utama bagi ekspor-impor Indonesia, khususnya dari Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang selama ini mengalami keterbatasan akses langsung ke pasar internasional.
Laut Sulu-Sulawesi yang menjadi perbatasan maritim antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina, telah lama menjadi kawasan yang rawan terhadap berbagai ancaman kejahatan transnasional seperti pembajakan, penyelundupan, dan penculikan oleh kelompok bersenjata seperti Abu Sayyaf. Diplomasi pertahanan kemudian muncul sebagai instrumen strategis untuk mengatasi tantangan keamanan sekaligus memperkuat stabilitas regional.
Laut Sulu-Sulawesi merupakan jalur perdagangan internasional yang vital, menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia dengan nilai ekonomi diperkirakan mencapai $40 miliar per tahun. Lokasi geografisnya yang terdiri dari ribuan pulau dan selat sempit menjadikannya rentan terhadap aktivitas kriminal. Kondisi geografis tersebut menyebabkan pengawasan menjadi sangat sulit dan oleh karena itu, kemanan di kawasan ini menjadi sangat penting untuk stabilitas ekonomi dan politik regional.
Kelompok Abu Sayyaf yang berbasis di Filipina Selatan telah memanfaatkan kerentanan ini untuk melakukan penculikan awak kapal dan serangan terhadap kapal komersial sejak awal 2000-an. Pada 2016, tercatat 21 insiden penculikan yang melibatkan 58 korban dari Indonesia dan Malaysia.
Menanggapi eskalasi ancaman pada kawasan ini, pada tahun 2016, Indonesia, Malaysia, dan Filipina menandatangani Trilateral Cooperative Arrangement (TCA), sebuah kesepakatan kerja sama pertahanan yang bertujuan memperkuat keamanan maritim di Laut Sulu-Sulawesi sebagai respons terhadap eskalasi ancaman. Kesepakatan ini dibangun atas tiga pilar utama, yaitu patroli terkoordinasi di wilayah perbatasan, pertukaran intelijen secara real time, dan pembentukan jalur komunikasi khusus (hotline communication) antara angkatan laut ketiga negara.
Mekanisme ini mengadopsi model Malacca Straits Patrol (MSP) yang sebelumnya sukses mengurangi pembajakan di Selat Malaka dengan menurunkan insiden hingga 90% antara tahun 2004 hingga 2015. Dalam konteks TCA, setiap patroli melibatkan kapal perang dan pesawat pengintai dari ketiga negara yang beroperasi secara bergiliran di zona yang ditetapkan. Pada 2017, ketiga negara memperluas cakupan operasi dengan menambahkan latihan bersama dalam bidang maritime interdiction dan pelatihan penanganan sandera.
Indonesia menjadi penggagas utama TCA pada 2016 karena Indonesia memiliki kepentingan strategis untuk menjaga stabilitas Laut Sulu-Sulawesi. Indonesia aktif memfasilitasi pertemuan trilateral untuk menyelaraskan kebijakan keamanan, termasuk pembentukan Maritime Command Control di Tarakan sebagai pusat komando operasi gabungan.
Peran tersebut menunjukkan posisi Indonesia sebagai mediator dalam menyelesaikan perbedaan kapabilitas militer antara Filipina dan Malaysia. Indonesia juga bertanggung jawab mencegah pelanggaran kedaulatan di perairan ZEE-nya sekaligus memastikan kerja sama tidak mengorbankan prinsip non-intervensi ASEAN.
Indonesia juga terlibat dalam patroli laut dan udara gabungan bersama Malaysia dan Filipina. Pada November 2024, TNI Â AL mengerahkan KRI Â Butana-878 untuk melakukan patroli terkoordinasi (Patkor) Philindo ke-XXXVIII 2024 yang berlangsung selama 10 hari. Indonesia berperan penting dalam pembentukan berbagai kebijakan seperti Maritime Command Control dan Trilateral Air Patrol karena secara material, kapabilitas militer Indonesia diakui sebagai yang terbaik di Asia Tenggara.
Implementasi TCA menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengurangi insiden kejahatan transnasional di wilayah tersebut secara signifikan. Data dari Kementerian Pertahanan Indonesia menunjukkan penurunan 80% kasus pembajaan dan penculikan antara tahun 2016-2017 setelah operasi patroli bersama dijalankan secara penuh.