Mohon tunggu...
Atmaradhifa Hadinayu
Atmaradhifa Hadinayu Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hi!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembuktian Helen Keller: Keterbatasan Bukanlah Hambatan

1 Mei 2025   20:25 Diperbarui: 1 Mei 2025   20:38 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di dunia yang sulit mentolerir kekurangan seseorang dan justru menjadikannya sebagai bahan olokan, Helen Keller hadir menyinari dunia dengan cahayanya sendiri, menjelma menjadi obor perubahan, dan membuktikan bahwa keterbatasan tidak pernah menjadi hambatan untuk setiap insan. Mata yang tidak bisa melihat, telinga yang tidak bisa mendengar, jika diiringi dengan tekad bulat yang kuat, menunjukkan bahwa penyandang disabilitas juga punya sinar yang terang. Begitulah Helen Keller menjalani hidupnya, dan sampai saat ini dikenal sebagai orang tunarungu tunanetra pertama yang berhasil lulus dari perguruan tinggi, Harvard.

Awal Perubahan Kehidupan
Helen Keller, atau lengkapnya Helen Adams Keller lahir pada 27 Juni 1880 di Tuscumbia, Alabama, Amerika Serikat. Ia merupakan putri pertama dari pasangan Arthur Henley Keller, dan istri keduanya Katherine Adams Keller. Awalnya, Helen tumbuh sebagai anak hebat, ia bisa berbicara dalam kurun waktu yang cukup cepat, ia juga ramah dan kerap membagikan senyuman pada para asisten rumah tangga atau tetangga yang kebetulan lewat. Di usianya yang ke-19 bulan, Helen terkena demam tinggi, demam itu tak kunjung turun selama beberapa hari, bahkan hampir 2 minggu. Ketika pada akhirnya ia bangun, Helen merasa semuanya gelap, ia berteriak menangis, dengan situasi keruh tersebut, orang tua Helen langsung memanggil dokter ke rumah, dokter mendiagnosis bahwa Helen terkena penyakit demam otak, yang menyebabkan matanya buta, dan telinganya tuli.


Peristiwa ini menjadi hantaman yang keras bagi keluarga Keller, dan semenjak itu, Helen berubah, bukan lagi anak ramah yang cepat beradaptasi pada sesuatu. Helen tumbuh menjadi anak pemarah dan pemberontak. Berkali-kali diajarkan komunikasi, Helen tetap tidak mau menuruti, ia sangat tempramental, hingga orang tuanya pun memutuskan untuk mencari pengasuh anak. Namun tetap, pengasuh-pengasuh tersebut mengundurkan diri dalam waktu dekat. Hal ini membuat orang tua Helen kelimpungan, mereka berusaha mencari informasi tentang penanganan anak tunanetra dan tunarungu, dan suatu ketika mereka mendapat kabar bahwa Alexander Graham Bell (Penemu Telepon) saat itu, merupakan orang yang peduli pada tunanetra dan tunarungu. Setelah berkonsultasi dengan Bell, ia menyarankan mereka untuk menghubungi Perkins Institute for the Blind, lembaga pendidikan untuk tunanetra yang berlokasi di Boston.

Malaikat Dari Surga Dengan Sejuta Makna

Sumber: Perkins School for The Blind
Sumber: Perkins School for The Blind
Perkins Institute for the Blind merekomendasikan Anne Sullivan, alumni sekaligus lulusan terbaik di sana. Pada kala itu, usianya baru menyentuh 20 tahun dan belum memiliki pengalaman untuk menangani, terlebih mengasuh anak tunanetra dan tunarungu. Namun, Anne sendiri pernah hampir menjadi seorang tunanetra karena kecelakaan, dan setelah menjalani operasi beberapa kali, ia dinyatakan sembuh dengan mata sehat. Perkins merasa Anne adalah orang yang tepat, dan bisa memperkenalkan dunia kepada Helen. Anne diberikan kepercayaan untuk mengasuh Helen di rumah lainnya yang dimiliki keluarga Keller. Butuh banyak waktu bagi Helen, dalam beradaptasi dengan Anne, namun setelah beberapa bulan bersama, Helen akhirnya menerima Anne, bukan hanya sebagai pengasuhnya, tapi juga sebagai sahabatnya.


Anne mengajarkan Helen banyak hal, huruf braille, kemudian bahasa isyarat yang ia gambarkan di telapak tangan Helen, satu per satu ia eja lewat jari-jemari ke telapak tangan Helen. Di depan rumah terdapat semacam wastafel kuno yan mengalirkan air lewat pipa, kala itu Helen tengah mencuci tangan, sembari tangan mengalir dari pompa ke tangannya, Anne memikirkan untuk mulai mengajarkan Helen kata-perkata, sehingga ia menuliskan W-A-T-E-R di telapak tangan Helen---sambil ia mengeja perlahan. Berkali-kali. Hingga tiba saatnya Helen menegakkan tubuh,dan mengatakan water sebagaimana semestinya. Berbanding terbalik dengan yang dirasakan orang tua, atau mantan-mantan pengasuh Helen sebelumnya. Menurut Anne, Helen adalah anak yang pintar dan penurut, namun untuk mendapati Helen seperti itu, memang membutuhkan waktu.


Selain itu, Anne juga mengajarkan Helen berbicara atas permintaan Helen sendiri. Namun, karena Helen tuli, ia tak bisa mendengar cara kata diucapkan, atau bagaimana suara yang keluar dari mulut orang dan membentuk sebuah kalimat. Anne pun membawa Helen ke Horace Mann School for the Deaf di Boston, tempat belajar bicara bagi anak-anak tunarungu menggunakan teknik oral. Di sana, Helen bertemu dengan guru bicara pertamanya---Sarah Fuller, ia mengajarkan Helen untuk menyentuh bibir dan tenggorokan guru saat mereka tengah berbicara, supaya Helen bisa merasakan bentuk dan getaran suara. Helen pun mempelajari posisi lidah, gerakan bibir, dan cara mengatur pernafasan ketika seseorang tengah berbicara, lewat irama atau hembusan nafas. "It is warm." merupakan kalimat yang pada akhirnya bisa diucapkan oleh Helen. Pada akhirnya, Helen bisa mengucapkan kata-kata. Namun, artikulasinya memang tidak selalu mudah dimengerti bagi orang lain, hal ini karena Helen sendiri pernah bisa mendengar suaranya sendiri, sehingga pelafalannya tidak sempurna. Helen pun lebih nyaman berkomunikasi menggunakan metode finger spelling (mengeja kata lewat tangan), yang memang lebih sering digunakan oleh Anne dalam percakapan sehari-hari.

Impian yang Terwujudkan
Sejak kecil, Helen sudah menunjukkan ketekunannya untuk mendapatkan ilmu. Dibantu Anne, Ia membaca buku-buku Braille, misalnya: Shakespeare, Plato, Milton, bahkan karya-karya Goethe. Helen ingin berkuliah, keinginannya ia sampaikan ke orang-orang terdekatnya. Ia memilih Radcliffe College, kampus perempuan di bawah Universitas Harvard, salah satu kampus paling bergengsi di Amerika di masa itu. Pada tahun 1898, Helen mulai mengikuti ujian masuk, dengan Anne sebagai pendamping disabilitasnya, Anne membantu mengeja soal lewat tangan. Pada tahun 1900, Helen dinyatakan lolos seleksi dan resmi diterima sebagai mahasiswi Radcliffe College, menjadikannya orang tunarungu dan tunanetra pertama yang lolos seleksi perguruan tinggi Harvard.
Begitu resmi diterima, perjuangan Helen menjadi lebih besar lagi, tidak ada kemudahan modern saat itu. Semua buku harus ia transkrip ke Braille, dan Anne harus mengeja ribuan halaman teks ke telapak tangannya setiap minggu. Tapi Helen menunjukkan semangatnya, dan Anne dengan senang hati membantunya, ia menulis esai, menjawab ujian, serta menyusun karya tulis dengan penuh tekad. Pada tahun 1904, Helen lulus dengan predikat cum laude dari Radcliffe College. Di usianya yang ke-24 tahun, ia berhasil mengukir sejarah---bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk seluruh dunia. Menjadi tunarungu dan tunanetra pertama yang berhasil lulus perguruan tinggi dengan predikat cum laude.


Setelah lulus, Helen mulai menjadi penulis, ia menulis 14 buku dan ratusan artikel. Ia juga kerap menggelar seminar, berbicara di hadapan ribuan orang di seluruh dunia, ia mengajarkan bahwa keberanian itu selalu didampingi takut, namun kita harus tetap melangkah, meski rasa takut terus membersamai. Ia memperjuangkan hak difabel, perempuan, dan pekerja. Suaranya menggema di seluruh dunia, meski ia sendiri tak pernah mendengarnya.


Helen Keller wafat pada 1 Juni 1968, namun jejaknya tak pernah benar-benar hilang. Ia adalah suara bagi yang tak bersuara, mata bagi yang tak bisa melihat harapan, dan cahaya bagi mereka yang dikepung gelapnya hidup. Ia mengajarkan bahwa keterbatasan bukan batas, Ia membuktikan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya milik mereka yang bisa melihat papan tulis atau mendengar suara dosen, tapi juga milik mereka yang bersedia dan mau berusaha memahami dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun