Di era digital yang serba cepat dan terbuka ini, media sosial telah menjadi ruang komunikasi baru yang sangat populer di kalangan masyarakat. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa memanfaatkan berbagai platform seperti Instagram, Twitter (X), TikTok, dan Facebook untuk berinteraksi, menyampaikan pendapat, atau sekadar berbagi cerita. Namun, di balik kemudahan dan kebebasan yang ditawarkan, terdapat fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan: pola berbahasa yang semakin jauh dari kaidah kebahasaan yang baik dan benar.
Salah satu fenomena yang menonjol adalah penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Contohnya, banyak pengguna media sosial menulis status atau komentar seperti: "Finally bisa liburan juga, setelah hectic week yang melelahkan." Kalimat ini secara struktural membingungkan jika dilihat dari sudut pandang tata bahasa Indonesia. Namun, bagi sebagian orang, penggunaan bahasa campuran justru dianggap keren, modern, bahkan menunjukkan kelas sosial tertentu. Padahal, tanpa disadari, kebiasaan ini bisa memengaruhi kemampuan berbahasa Indonesia secara utuh, terutama bagi generasi muda.
Selain itu, penggunaan bahasa kasar atau ujaran kebencian juga menjadi persoalan serius. Banyak pengguna media sosial merasa memiliki kebebasan penuh untuk mengungkapkan segala hal tanpa mempertimbangkan etika berbahasa. Padahal, setiap kata yang diucapkan atau dituliskan memiliki dampak, baik secara psikologis maupun sosial. Kasus perundungan siber (cyberbullying) adalah salah satu dampak nyata dari kurangnya kesadaran berbahasa yang santun di dunia digital.
Fenomena lainnya adalah singkatan berlebihan dan gaya bahasa tidak baku seperti "bgt" (banget), "bsk" (besok), "gw", "lo", "ga", yang meskipun mempercepat penulisan, justru memudarkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia. Memang, bahasa adalah makhluk hidup yang berkembang sesuai zaman. Namun, perkembangan yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab dan kesadaran berbahasa dapat merusak nilai-nilai kebahasaan itu sendiri.
Dalam konteks komunikasi sehari-hari, pergeseran ini juga mulai terasa. Banyak remaja atau bahkan anak-anak yang lebih fasih menggunakan istilah-istilah asing daripada padanan dalam bahasa Indonesia. Hal ini bukan hanya soal selera atau gaya, melainkan juga menunjukkan perlunya penguatan literasi bahasa Indonesia di berbagai lini kehidupan, termasuk di dunia pendidikan dan media.
Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap? Sebagai pengguna media sosial, kita perlu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan etika komunikasi. Bijak dalam memilih kata, menggunakan bahasa yang sopan, serta tidak menyebarkan ujaran kebencian adalah bentuk nyata dari tanggung jawab berbahasa. Kita juga perlu mengapresiasi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, bukan sekadar alat komunikasi semata.
Pemerintah dan lembaga pendidikan juga berperan penting dalam mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda, tentang pentingnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik di dunia nyata maupun maya. Program-program kampanye literasi digital dan lomba penulisan kreatif bisa menjadi cara yang efektif untuk membangkitkan kembali kecintaan terhadap bahasa ibu kita.
Akhir kata, media sosial adalah cermin budaya berbahasa kita hari ini. Maka, jika ingin menjaga kualitas dan martabat bahasa Indonesia, kita harus mulai dari diri sendiri---berbahasa dengan bijak, santun, dan bertanggung jawab, kapan pun dan di mana pun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI