Mohon tunggu...
Dhena Aldhalia
Dhena Aldhalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan 2019 Universitas Lambung Mangkurat

TMI: MBTI aku INTJ, tidak terlalu suka keramaian, dan suka baca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bromo, Masyarakat Tengger dan Sejuta Keindahannya

19 November 2022   06:10 Diperbarui: 19 November 2022   06:17 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesona Gunung Bromo (Dok. pribadi)

         Siapa yang tidak tahu dengan pesona indah yang disuguhkan oleh Gunung Bromo? Sunrise yang membuat kita mengucapkan berulang kali decakan kagum, lautan pasir yang megah serta keindahan budaya masyarakat Tengger yang bangga dengan identitasnya?

          Jika berkunjung ke Gunung Bromo hanya untuk menikmati keindahan alamnya saja menurut saya masih kurang afdal, karena Gunung Bromo dan Masyarakat Bromo telah menjadi kesatuan, sehingga jika menikmati indahnya sunrise di puncak Gunung Bromo, maka harus juga menikmati indahnya keragaman yang ditampilkan masyarakat Tengger. Maka pada kegiatan Kebhinnekaan 9 Modul Nusantara Kelompok 7 Universitas Jember kali ini tidak hanya menikmati keindahan Gunung Bromo, akan tetapi juga menggali keindahan lain yang terdapat pada Masyarakat Tengger.

          Kehidupan Masyarakat Tengger yang hidup di sekitar lereng pegunungan tidak terlepas dari manifestasi folklor Roro Anteng yang membawa isu kesetaraan gender, khusunya perempuan masyarakat Tengger dalam kehidupan sosial. Sebagaimana yang disebutkan oleh Asmi Ramiyati, dkk (2022) dalam hasil kajian mereka, menyebutkan bahwa masyarakat Tengger sebagai masyarakat yang berpedoman pada budaya dan tradisi leluhur yang diturunkan secara turun-menurun.

          Di tengah isu terkait kesetaraan gender menguap ke permukaan akhir-akhir ini bahkan termasuk ke dalam tujuan dari sustainable development goals yang termasuk ke dalam kajian pemberdayaan perempuan, masyarakat Tengger telah menjalani kehidupan sosial dengan mengaplikasikan kesetraan gender melalui budaya melalui leluhurnya Roro Anteng dan Joko Seger.

          Dari kisah perjuangan Roro Anteng yang ikut bersemedi suaminya, Joko Seger agar memperoleh keturunan serta ketegaran Roro Anteng yang merawat anak-anaknya di tengah ia harus merelakan anak ke 25 menjadi cikal bakal pedoman hidup masyarakat Tengger. Dalam kehidupan masyarakat Tengger, perempuan tidak hanya disibukan oleh pekerjaan rumah tangga dan mengurus tangga, akan tetapi juga dalam aktivitas di ladang. Sebagai masyarakat yang hidup di lereng pegunungan, mayoritas masyarakat Tengger berprofesi sebagai petani, maka tidak mnegherankan jika melihat para wanita masyarakat Tengger turun ke ladang, tidak canggung memegang cangkul.

          Selain itu juga, saya sempat mengamati masyarakat Tengger yang berada di sekitar tempat wisata Gunung Bromo, salah satunya ialah tempat kami untuk menyantar sarapan. Ada yang pemandangan yang benar-benar menarik perhatian dan sangat menggambarkan masyarakat Tengger. Warung "Mak Yes" menyediakan masakan prasmanan yang dimasak secara langsung sehingga pengunjung bisa menikmati makanan hangat setelah berjibaku dengan dinginnya suhu udara lereng gunung.

          Di warung tersebut sangat terasa bahwa inilah implementasi "Kesetaraan Gender Masyarakat Tengger". Warung Mak Yes dikelola oleh sepasang suami istri yang bekerja sama, jika warung makan identik hanya dikelola oleh wanita sebagai juru masak, pramusaji serta bagian bersih-bersih, maka beda halnya dengan warung "Mak Yes" ini. Si Ibu memiliki peran dalam mengelola masakan, serta membuatkan teh hangat untuk pengunjung, sedangkan suami beliau, Sang Laki-laki juga memiliki peran untuk menyambut tamu, menyusun sajian makanan serta membersihkan piring-piring setelah pengunjung selesai makanan. Tidak ada perbedaan beban ataupun dominasi peran.

          Selain itu, implementasi "Kesetaraan Gender" juga dapat terlihat pada para pedagang yang berjualan bunga Edelwies atau air minuman di dekat kawah Gunung Bromo. Dengan medan yang menanjak tidak membuat yang berjualan di sana hanya para lelaki, melainkan juga para perempuan masyarakat Tengger. Tidak ada pembagian secara khusus terkait pekerjaan dimana perempuan hanya fokus mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak, dan hanya laki-laki yang bekerja.

          Selain masyarakat Tengger dengan folklor "Roro Anteng dan Joko Seger" yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat Tengger yang didalamnya terdapat Penyamarataan gender antara perempuan dan laki-laki, salah satu yang menarik lainnya pada masyarakat Tengger ialah cara berpakaian yang seolah menjadi identitas. Hal ini dapat terlihat ketika kita berkunjung ke Gunung Bromo maka tidak asing melihat penduduk lokal menggunakan sarung yang dipakai entah di kalungkan atau kurungkan pada badan. Di tengah udara dingin lereng Gunung, masyarakat Tengger tidak menggunakan Jaket tebal seperti kebanyakan pengunjung, melainkan hanya menggunakan sarung.

          Ternyata hal tersebut seolah telah menjadi identitas masyarakat Tengger. Sarung juga dianggap sebagai harga diri, dalam setiap aktivitasnya tidak pernah terlepas. Bahkan saat menggarap ladang pun, masyarakat Tengger menggunakan sarung. Hal ini menjadi keunikan lain yang menjadi pesona dari Masyarakat Tengger dan Gunung Bromo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun