Benteng vredeburg adalah salah satu bangunan yang menjadi saksi bisu atas peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di Yogyakarta. Benteng ini berlokasi didepan Gedung Agung dan Keraton Kesultanan Yogyakarta. jika wisatawan berjalan disepanjang jalan malioboro sampai dengan titik nol kilometer maka wisatawan akan disuguhi pemandangan bangunan kokoh dan bangunan tersebut adalah benteng vredeburg.
Benteng vredeburg pertama kali dibangun pada tahun 1760 atas perintah dari Sri Sultan Hamengku Buwono I dan permintaan pihak pemerintah Belanda yang saat itu dipimpin oleh Nicholaas Harting yang menjabat sebagai Gubernur Direktur Pantai Utara Jawa. Benteng ini awalnya bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti 'Benteng Perdamaian'. Nama ini diambil sebagai wujud dari hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Pembangunan Benteng Vredeburg sangat erat kaitannya dengan lahirnya Kesultanan Yogyakarta. setelah selesainya perselisihan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono I) pada Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Bukan tanpa sebab, Perselisihan tersebut terjadi karena kebijakan-kebijakan dari pihak belanda yang dinilai terlalu mencampuri urusan dalam negeri para raja Jawa pada waktu itu.
Pesatnya perkembangan keraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, membuat Belanda mulai was-was. Belanda menyarankan agar Sultan membangun benteng di dekat istana. Bangunan tersebut didirikan dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Namun, di balik dalih tersebut, sebenarnya niat Belanda adalah untuk memudahkan kontrol atas segala perkembangan di keraton. Letak benteng yang hanya berjarak satu tembakan meriam dari keraton dan letaknya yang berseberangan dengan jalan utama menuju keraton menjadi bukti bahwa peran benteng sebagai benteng strategis, intimidasi, penyerangan dan blokade dapat dimanfaatkan. Bisa dikatakan tujuan pembangunan benteng ini adalah untuk melindungi sultan agar sewaktu-waktu bisa berbalik melawan Belanda.
Karena besarnya kekuatan di balik pengaturan politik yang dibuat dalam setiap perjanjian dengan Belanda tampaknya merupakan kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi selama pemerintahan kolonial Belanda. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu, permohonan izin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan
Meski bangunan tersebut dibangun atas persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono I, hal tersebut tidak lantas membuat benteng tersebut menjadi hak Sri Sultan Hamengku Buwono I sepenuhnya. Butuh beberapa tahun sampai benteng tersebut benar-benar menjadi milik Keraton. Berikut sejarah panjang yang dilalui hingga benteng tersebut sepenuhnya menjadi milik Keraton.
1.tahun 1760-1765, pada awal pembangunan, status tanah tetap atas nama keraton, namun penggunaannya dikuasai oleh Nicolaas Harting, gubernur pantai utara Jawa.1.tahun 1760-1765, pada awal pembangunan, status tanah tetap atas nama keraton, namun penggunaannya dikuasai oleh Nicolaas Harting, gubernur pantai utara Jawa.
2 1765-1788, secara resmi tanah tersebut masih milik keraton, namun benteng dan tanah tersebut dimiliki oleh Belanda di bawah Gubernur W.H. Ossenberg.
3 Dari tahun 1788 hingga 1799 properti tersebut tetap menjadi milik istana, di mana benteng tersebut digunakan sepenuhnya oleh VOC.
4 1799-1807, status tanah secara formal masih milik keraton dan penggunaan benteng sebenarnya milik pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Van De Burgh.
5 antara tahun 1807 dan 1811 secara formal tanah tersebut masih milik keraton dan penggunaan benteng sebenarnya adalah milik pemerintah Belanda yang dikelola oleh patih Daendels.