Gaji pertama seringkali menjadi titik balik di mana seseorang mulai mengenal konsep penghasilan, pengeluaran, dan menabung.
Dari gaji pertama tersebut saya belajar tentang prioritas, tentang menunda keinginan, dan tentang tekad untuk tetap bisa melanjutkan sekolah tanpa merepotkan orang tua lagi.
Penelitian oleh Lusardi & Mitchell (2014) juga menunjukkan bahwa literasi finansial sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, termasuk bagaimana seseorang mengelola gaji pertamanya.Â
Dalam konteks Indonesia, survei OJK (2022) mencatat bahwa tingkat literasi keuangan nasional masih di angka 49,68%. Padahal, literasi finansial bukan hanya soal menghitung uang, tapi juga tentang memahami arti uang dan bagaimana ia berdampak pada kehidupan jangka panjang.
Membagi gaji menjadi tiga bagian yaitu kebutuhan pribadi, tabungan untuk masuk kuliah, dan sedikit untuk mama.Â
Kalau sekarang kita mengenal konsep membagi penghasilan yang populer di kalangan generasi muda salah satunya dari Prita Ghozie, seorang perencana keuangan bersertifikasi dan pendiri ZAP Finance, meskipun bukan orisinil dari Prita (konsep ini populer dari Elizabeth Warren di AS).
Prita juga menyarankan format serupa dan menyesuaikannya untuk konteks Indonesia, seperti konsep 50/30/20 yang artinya 50% untuk kebutuhan, 30% untuk tabungan, dan 20% untuk hiburan atau keinginan.
Bukan Soal Nominal, Tapi Rasa Bahagia
Bukan soal nominal, tapi rasa bahagia yang hadir waktu itu masih tersimpan hingga kini-rasa bahagia yang tak terlupa dari langkah pertama menuju dunia orang dewasa.Â
Menghabiskan masa dari usia belasan tahun yang masih lugu, bisa kuliah hingga menikah masih di tempat yang sama-sebagian besar sudah seperti keluarga kedua.Â
Bekerja bukan cuma soal uang, tapi juga tentang rasa syukur, dan pelajaran hidup yang nyata.
Mungkin, seperti saya, kamu juga masih mengingatnya-rasanya mendapat gaji pertama!