Mohon tunggu...
DH. ISMAIL Motivator
DH. ISMAIL Motivator Mohon Tunggu... -

DH.ismail, M.Si Penulis buku Rahasia sukses para juara dan etos bisnis tiada merugi. Saat ini aktif sebagai Pengusaha dan Pemimpin Redaksi majalah CSR Review, serta Wakil Pemimpin Umum Majalah JSR. Tokoh muda ini juga aktif memberikan konsultasi dibidang pengembangan diri dan kewirausahaan bagi UMKM di berbagai daerah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Warisan" Termahal Mbah Maridjan

27 Oktober 2010   14:31 Diperbarui: 13 Juli 2015   13:30 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

" berani menjadi pejabat harus berani datang lebih pagi dan pulang lebih malam dari bawahan alias bekerja dengan tuntas dan bertanggung jawab "

Keberanian sang Kakek tua berusia 83 tahun itu menantang maut, membuat namanya tersohor ke seantero jagat. Tidak tanggung-tanggung, jenis maut yang dicoba dihalaunya adalah awan panas 600 derajat Celsius serta kemungkinan lahar panas lebih dahsyat seiring dengan peningkatan aktivitas gunung merapi yang tak berperi  itu. Para prajurit terlatih sekalipun – bahkan dengan bantuan rompi anti panas pasti emoh menerima tantangan tersebut. Tapi tidak demikian halnya dengan Mbah Maridjan si legenda merapi tersebut. Baginya tugas dan pekerjaan adalah berpadanan dengan nyawa. Sekali menerima satu amanat, harus dilaksanakan dengan tuntas, penuh tanggung jawab walaupun hidup menjadi taruhan. Hanya bila si pemberi amanat itu sendiri yang mencabut mandatnya, barulah si Mbah bersedia melepaskannya. Luar biasa,,,dedikasi tokoh ini terhadap sebuah tugas. Suatu hari saya berjumpa dengan seorang pejabat eselon dua di sebuah departemen. Saya bertanya kepada pejabat tersebut, . "Apa rahasianya sehingga sukses mempertahankan jabatan meskipun sudah berkali-kali berganti atasan yang umumnya selalu membawa orang-orang kepercayaan?" Tanya penulis. Dengan enteng ia menjawab " berani menjadi pejabat harus berani datang lebih pagi dan pulang lebih malam dari bawahan alias bekerja dengan tuntas dan bertanggung jawab" tegasnya. Seserderna itukah? Tidak ! Suatu hari kami berkesempatan mengikuti perjalanan pejabat tersebut dan melihat langsung bagaimana ia terjun langsung memantau A sampai Z persiapan sebuah acara untuk memastikan kenyamanan atasan dan tamu undangan- meskipun hal itu sebenarnya sudah ditunaikan anak buahnya. Begitulah strategi para pejabat sukses mempertahankan posisinya hingga disayang oleh atasan, disenangi oleh bawahan dan program nya sukses . "Ada harga tertentu untuk sebuah kenyamanan" demikian ungkapan bijak yang sering kita dengar. Para pengusaha sukses pun melakukan hal yang sama. Pada masa tertentu khususnya tak kala proses membangun fondasi usahanya ia rela bermalam minggu di kantor kecilnya untuk memastikan tekendalinyaperkembangan usaha. Ia rela mengobarkan kesenangan jangka pendek untuk kenyamanan berkesinambungan.

Tapi Mbah Maridjan bukan seorang pejabat, juga bukan seorang pengusaha yang sedang bernegosiasi dengan masa depan- sehingga tak ada posisi yang mestinya dipertahankannya.

Ketika status merapi sudah diputuskan pemerintah meningkat derajat bahaya, tanggung jawabnya sebagai juru kunci mestinya sudah berakhir alias telah di take over oleh institusi atau pejabat yang lebih tinggi. Lantas, apa gerangan yang membuatnya tetap bersikeras untuk menantang badai? Bukankah Gaji seorang kuncen tak sepadan lagi dengan pendapatannya sebagai bintang iklan? Bukankah setiap rumah masyarakat terbuka 24 Jam untuk menerima kehadiran sosok si Mbah yang tersohor dan nothing to lose itu? Tidak kah seharusnya ia pensiun menikmati hari tua? Bukankah rakyat sudah memaklumi bahwa ia layak menikmati hari tua dan hijrah ketempat yang lebih aman? Inilah barang kali beda logika kita dengan sang maestro tersebut.

"Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini," kata Mbah Maridjan suatu ketika menolak dengan halus perintah sang Sultan ketika mengajaknya mengungsi.

“Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya, Senin (Tempo:25/10).

Itulah jawaban khas sang legenda Merapi  itu. Amati dan cermati argumen diatas. Ia lebih mengedepan tanggung jawab profesional ketimbang argument rendahan yang sering digunakan banyak orang untuk terbebas dari tanggung jawab alias tukang jawab.

Tanggung jawab melekat total dalam setiap detak jantung, tarikan nafasnya. Baginya adalah resiko sebuah profesi. Itulah barangkali warisan terbaik ( intangible asset) sang Mbah untuk keluarga dan bangsa ini.

Di tengah lautan kecemasan yang menerpa warga di sekitar lokasi gunung merapi, mbah Maridjan tetap ceria menjalankan tugasnya memantau detik demi detik aktivitas gunung dengan caranya sendiri. aktivitas itu dilakoninya dari lokasi teramat beresiko yakni hanya berjarak sekitar 4 sampai 5 kilometer domisi rumahnya. Lokasi kediaman Mbah Maridjan di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman hanya berjarak empat atau lima kilometer dari puncak letusan Gunung Merapi yang sangat mengancam keselamatan jiwa Mbah Maridjan.

Tampaknya, optimisme, keceriaan serta komitmen pada tugas si bintang iklan minuman energi tersebutlah barangkali yang menjadi vibrasi bagi puluhan orang pengikut setianya hingga detik terakhir menemani sang Mbah hingga ke alam barzah.

Mbah Maridjan telah pergi meninggalkan kita dalam keadaan sujud. Tugasnya profesinya telah ditunaikan dengan tuntas. Bagi sebagian orang mungkin ikut bersedih karena - maaf, kehilangan tontonan lugu, kocak penuh kesederhanaan bernama Mbah Maridjan. Tapi tidak bagi ribuan orang pengagumnya. Bagi mereka mbah Maridjan adalah inspirasi, legenda sekaligus tuntunan serta motivator dalam mencitai profesi . Ada puluhan orang yang meninggal dan ratusan yang cedera akibat letusan gunung tersebut. Namun, fakta menunjukkan, puluhan bahkan ratusan media dalam dan luar negeri tetap memilih pesona mbah Maridjan sebagai iconnya dan headline medinya sebagai bukti kuatnya pesona sang tokoh. Untaian doa tulus dari pengagumnya pun terus mengalun menyertai kepergiannya.

Sebagai anak zaman baru tentu secara pribadi penulis  tidak setuju dengan pilihan sikap mbah Maridjan menghadang maut tersebut.  Namun, perbedaan sikap tidak membuat kami alpha melihat mutiara hidup yang diwariskannya yakni pentingnya mencintai profesi, pentingnya totalitas pengabdian terhadap tugas dan amanat yang dititipkan Tuhan pada setiap diri kita.

Di pojok kehidupan ini terlalu banyak rayuan yang membuat kita lalai mengenali potensi khas dan unik kita. Di bilik-bilik kehidupan ini terlalu banyak jebakan yang sering membuat kita abai terhadap tanggung jawab yang kadung sudah kita terima dan malah tak jarang, kita perebutkan dengan beragam cara tak terpuji. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kita kemudian malah tak jarang menyia-nyiakan atau maaf meminjam istilah seorang sahabat " mengencingi sumber air minum kita" sendiri.

Karena itu, tak ada salahnya kita belajar soal etos totalitas pengabdian pada tugas tiada tara kepada sang Mbah tersebut. Ambil positifnya, dan tinggalkan negatifnya. Wallahu A"lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun