Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Kemerdekaan, Impian, dan Rasa Penerimaan

16 Agustus 2020   21:43 Diperbarui: 16 Agustus 2020   22:25 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tentu di seluruh penjuru Nusantara menyambut kemerdekaan RI yang ke-75. Sukacita sih iya, hanya saja diselimuti hawa berbeda. Walaupun begitu, harusnya tak menghalangi untuk menghargai nilai-nilai di balik itu semua, bukan?

Namun, tetap, masih ada orang yang tak puas apa yang dirasakan saat ini.

Salah seorang warganet yang yang kutemui di situs tanya jawab kenamaan, mengaku seandainya bisa memilih, dia TIDAK INGIN lahir di Indonesia! Maunya, dia ini lahir di negeri yang aman tenteram, kayak Amerika dan Australia.

Duuuh, apa dia ini gak bisa bersyukur?

Ingat, hak prerogatif Tuhan-lah yang memilih tempat di mana kita dilahirkan. Mau di mana tempatnya, ya terserah Dia. Kita gak bisa protes, lha sewaktu di kandungan ibu belum bisa berpikir dan berbicara apa-apa?

Akan tetapi, seperti yang kubilang tadi. Memang dasar manusia, selalu dan selalu yang membuatnya tidak puas. Masalah keamanan dan lingkungan yang membuatnya gerah, yang ada, malah demo besar-besaran yang justru membuat hari-harinya semakin membara.

Lebih parahnya, ada sebagian yang menganggap kebijakan pemerintahnya tidak becus seperti cara penanganan pandemi Korona (COVID-19), sehingga di hatinya jadi benci padanya.

Belum lagi ada hal-hal yang bertentangan dengan nuraninya, dimana jika hal itu terjadi pada bangsanya, malah memperburuk keadaan di masa depan negerinya.

Dan, itu memang telah terjadi, kok. Waktu kerusuhan 1998, banyak warga Indonesia yang akhirnya berpindah ke berbagai tempat; negara-negara asing. Bahkan mereka sampai di-naturalisasi menjadi bagian dari warga negara sana.

Alasannya, sudah jelas! Kalau mengingat tempat berpijak dahulu, yang ada hanyalah rasa trauma!

Nah, apakah hal ini hanya terjadi di negara berkembang? Oh, ternyata tidak! Di Amerika Serikat, banyak juga yang ingin, bahkan rela menggugurkan status kewarganegaraan karena tak puas apa yang dititahkan pemimpinnya.

Ya, begitulah dinamika negeri, penduduknya selalu datang dan pergi karena politik dan kondisi. Tak ada yang abadi.

Impian dan Kepindahan

Memang, kepindahan itu hal yang wajar terjadi. Sejak nenek moyang kita sudah lakukan begitu, terutama tiga putra Nuh dan keturunannnya yang akhirnya bermigrasi ke seluruh dunia.

Beraneka ragam faktor yang membuat mereka hijrah ke daerah baru selalu menyertainya. Konflik, daerah yang tandus, sampai menemukan daerah yang lebih nyaman bagaikan surga, itulah yang dibisikkan di pikiran untuk mendorong mereka berpindah.

Terlebih, apalagi sekarang, situasi tak mungkin statis. Buktinya, mereka-mereka ini, manusia zaman sekarang yang akhirnya pindah kewarganegaraan?

Oh ya, impian yang diangankan pada masa lalu bisa jadi penguat untuk ingin tinggal di negeri impiannya.

Seseorang yang tergila-gila akan Korea semasa remaja, berkeinginan suatu saat nanti bisa tinggal di Negeri Ginseng walaupun hanya sekadar bekerja. Ada juga orang yang jatuh cinta dengan Amerika, pindah dan ganti kewarganegaraannya, terus belajar bahasa Inggris dengan logatnya, karena ingin menghilangkan logat dari daerah asalnya!

Ya, begitulah mimpi. Sesuatu yang membuat mereka bersemangat dan gak monoton. Malah, bagi sebagian orang, mimpi itu harus. Biar hidup ada arah dan tujuannya jelas.

Kemerdekaan dan Rasa Penerimaan

Ngomong-ngomong, seperti yang kita tahu, kita ini makhluk yang diberi kemerdekaan. Bebas melakukan hal yang kita mau, asalkan gak kebablasan. Ada batasnya memang.

Berpendapat saja harus dibatasi undang-undang, apalagi kebebasan yang lain? Ada norma-norma yang menilainya, apakah sesuatu itu baik atau buruk, boleh dan tak boleh dilakukan.

Bangsa pun juga begitu. Ada hak untuk menentukan nasib sendiri.

Ketika Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 dan mengakibatkan kekosongan kekuasaan, apakah bangsa kita punya hak? Tentu saja ada, karena sudah tak ada yang mengontrol daerah jajahannya!

Namun, walaupun kita bebas merancang mimpi, ingin hidup merdeka di negeri orang dan sebagainya dan sebagainya, kalau takdir tidak mengkehendaki demikian, bagaimana?

Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik, melebihi apa yang kita mau. Kalaupun sudah mendapatkan pekerjaan yang layak di negara kita, mengapa harus rela bersusah payah ingin berkarier di luar negeri? Bisa jadi lebih susah, lho.

Maka, tak ada jalan yang lebih baik kecuali dengan menerimanya dengan ikhlas. Itu yang terpenting.

Yakni, bersyukur apa yang kita miliki termasuk berkarier di negeri sendiri. Kalau enggak, selamanya tak akan merasa puas dan cukup bagaikan minum yang dahaganya tak hilang-hilang?

Asal tahu saja ya, pada prinsipnya kita yang lahir memiliki kampung halaman, tanah air tempat kita dilahirkan. Selain keluarga, itulah yang selalu ada; rindunya menyertai kemanakah kita pergi dan menetap di manapun.

Lebih-lebih, kalau sudah tinggal berjauhan dari daerah asal; di negeri yang lain. Pastinya, kalau ada rasa cinta pada tanah air, pasti akan cepat-cepat kembali ke pelukannya setelah menyelesaikan misi besar secara tuntas.

Perasaan yang tetap bertaut pada tanah airnya dan ingin membelanya, inilah Nasionalisme. Walaupun, ya seseorang tak bisa mencegah untuk meninggalkan daerah asal, rasa ini tetap ada dan muncul ketika dipertemukan dengan hal-hal yang membangkitkan memori tentang negerinya.

Hmmm, kalaupun rasa ini membuatnya tetap betah berada dalam negaranya, terlepas dari hal buruk yang menyertai. Ditambah, dengan berbagai fakta yang menguatkannya untuk tetap bertahan di negeri ini. Atau, demi keluarga yang menginginkan kita tetap berada di sini.

Apa pun yang terjadi, tetaplah tanah air adalah tempat yang terbaik!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun