Suatu hari, saya berkunjung ke supermarket ternama yang baru buka Desember 2019 yang lalu. Supermarket itu, adalah penghuni bangunan yang dulunya juga difungsikan sebagai pasar swalayan yang kini telah bangkrut.Â
Setelah dilihat-lihat, bahkan sampai saat ini yang telah ke sana beberapa kali, ternyata isinya, 11-12 dengan supermarket lokal di kota, yang letaknya lebih strategis. Bahkan, produk impor jauh lebih beragam dan lengkap, termasuk kertas nasi ala Vietnam yang sedang kuincar di lain waktu.
Ketika menyodorkan barang belanjaan untuk pertama kalinya, sang kasir bertanya begini: "Bawa tas belanjaan nggak? Kalau tidak, plastiknya berbayar ya"
Hmmm, teringat kejadian itu, setiap ke supermarket ternama itu, harus bawa tas belanjaan milik saya sendiri.
Itu kalau di kota, yang notabene belum menerapkan pelarangan kantong plastik. Di kota-kota besar, sudah selangkah lebih maju tuh. DKI Jakarta, misalnya, sudah keluarkan peraturan tentang pelarangan kantong plastik di semua jenis pusat perbelanjaan, mulai tanggal 1 Juli!
Enak bener di kota, punya pemerintahan yang terpusat, terus wilayahnya tidak begitu luas, sehingga mudah diatur. Kalau di desa, bagaimana?
Terus terang kalau di desa itu masih tidak berdaya untuk memutuskan kebijakan, paling dalam skala kecil saja. Baik desa maupun kecamatan, itu bergantung pada pemimpin Kabupaten atau Provinsi yang sedang berkuasa. Jika kebijakannya begitu, ya dampaknya juga demikian adanya.
Namun, lihatlah! Di desa-desa, masih nyaman bersama kantong plastiknya. Apa-apa, belanjaan, "dibungkus" dengan kantong plastik di warung-warung, toko, maupun di pasar dan minimarket.Â
Pasalnya, mungkin sudah kewajiban mereka untuk melayani konsumen, terlebih kantong plastiknya telah tersedia. Jadilah, belanjaan dimasukkan seperti itu.
Akan tetapi, hal tersebut sebenarnya malah membuat lingkungan rugi besar.