Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluarga Millenials dan Relasinya dengan Terorisme

10 April 2021   10:16 Diperbarui: 10 April 2021   10:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai bom di gereja Katedral Makassar dan penyerangan di Mabes Polri terjadi, banyak analisa yang beredar di media mainstream maupun media massa. Umumnya mereka menyoroti soal usia ketiga pelaku yang masih sangat muda.

Lukman dan istrinya yang merupakan pelaku bom Makassar masing-masing berusia 25 tahun dan 20 tahun. Sedangkan ZA yang merupakan pelaku penyerangan kepada para polisi sebelum kemudian ditembak mati juga berusia muda yaitu 25 tahun. Usia yang masih sangat belia dan keputusan mereka untuk melakukan tindakan yang menurutnya dibenarkan oleh agama padahal sejatinya mereka melakukan aksi terorisme.

Kenapa mereka yang masih belia itu bisa dan mau melakukan itu ?

Mereka bertiga masuk pada katagori generasi Y dan sang istri Lukman malah masuk pada generasi Z, dua generasi yang kini mendominasi hampir dua pertiga populasi di Indonesia. Perlu diketahui generasi Y yang paling senior kini berusia lebih kurang 40 tahun dan paling yunior ada di 25 tahun.

Dua generasi ini punya tipikal yang nyaris sama yaitu bahwa mereka dibesarkan pada masa di mana teknologi informasi berkembang dengan sangat baik. Sehingga dua generasi pemilik masa depan ini lahir dan akrab dengan digital dan disebut sebagai native digital. Dua generasi sebelumnya yaitu X dan baby boomer yang lahir dan tidak sepenuhnya dibesarkan dalam lingkungan digital disebut sebagai migrant digital, artinya pada sutu titik dua generasi senior itu menyesuaikan diri dengan teknologi informasi sehingga bisa bermanfaat bagi hidup dan pekerjaannya.

Kembali ke masalah generasi millennial dan Z. Karakteristik lain generasi ini selain sangat adaptif dengan teknologi informasi juga  punya loyalitas yang rendah, acuh dengan politik, tapi mudah beradaptasi dan sangat gemar berbagi. Karena itu generasi ini lebih suka tidak terikat dengan satu institusi dalam skala yang panjang, namun sering berpindah untuk menambah ketrampilan dan menikmati suasana baru.

Karena sangat piawai menggunakan internet termasuk media sosial dan rendahnya loyalitas --misalnya keluarga - maka situasi ini amat menguntungkan bagi masuknya ideologi-ideologi tertentu termasuk intoleransi dan radikalisme. Dimana dua hal ini adalah benih bagi sikap dan tindakan terorisme.

Sehingga disini kita bisa simpulkan bahwa keluarga punya peran yang sangat penting untuk membentuk loyalitas anak. Jika keluarga cukup memberikan kasih sayang dan pemahaman, maka loyalitas pada keluarga akan tumbuh dengan baik, sehingga pengaruh ideologi intoleran dan radikalisme bisa direduksi oleh keluarga. Dan sebaliknya.

Karena itu perkuat loyalitas anggota keluarga kita terhadap keluarga. Beri mereka perhatian dan aktivitas offline yang cukup bagi mereka. Jangan sampai mereka terlalu tercekat dengan gawai dan selanjutnya mereka terpengaruh pada ideologi yang merugikan orang baik dan dikecam oleh agama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun