Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisme, Duri yang Harus Dikikis Habis

29 Januari 2021   18:56 Diperbarui: 29 Januari 2021   19:01 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin sebagian dari kita masih ingat hasil penelitian beberapa lembaga soal intoleransi dan faham radikalisme di Indonesia. Ada Wahid Isntitute yang concern soal toleransi, Ada lembaga peneliatian IPAC yang mengkhususkan soal radikalisme dan terorisme. Dari sekian hasil penelitian itu, yang saya sangat ingat adalah hasil survey yang dilakukan oleh lembaga Alvara Research Center yang dilakukan pada tahun 2017.

Meski hasil penelitian itu sudah empat tahun lalu, namun terasa masih relevan untuk menjadi acuan, bukan saja karena kasus intoleransi masih sangat tinggi, namun kasus-kasus seperti ini menyeruak di hampir semua lini masyarakat, dari bidang sosial, keuangan, sampai pendidikan.

Yang paling saya ingat dari penelitian Alvara soal ideologi radikal yang berkembang di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah cukup tingginya kaum ASN yang menyetujui gagasan khilafah sebagai bentuk negara yang ideal dibanding bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Angka soal ini menunjukkan sekitar 22,2 persen. Penelitian ini juga menemukan bahwa ada sekitar 19, 6 persen yang menyetujui tindakan kekerasan dengan tujuan mendirikan kekhalifahan Islam.

 "Duri" ini terbungkus dengan kesetujuan mereka menyetujui ideologi Pancasila sebagai dasar negara (85,4%), artinya meski mereka menyetujui Pancasila sebagai dasar negara namun sebagian dari mereka menyetujui gagasan di luar Pancasila yang berbasis kesatuan diatas heterogenitas dan multiras di Indonesiani.Ini tentu sangat ironis dengan kekhalifahan yang berbasis homogenitas dan agama. Angka-angka itu tentu bukan sekadar statistik, melainkan semacam warning alarm bagi pemerintah dan masyarakat akan peta penyebaran radikalisme di kalangan ASN.

Setelah penelitian Alvara kita diingatkan lagi dengan beberapa kejadian yang menyangkut ASN seperti beberapa ASN yang diketahui berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. ISIS menginginkan bentuk kekhalifahan terjadi di negara Suriah, dan ini koheren dengan cita-cita sebagian ASN yang ada dalam penelitian Alvara tersebut.

Faham intoleransi dan radikalisme di kalangan ASN tidak bisa dianggap remeh. ASN yang berkecimpung di bidang pendidikan dalam hal ini guru misalnya, sering mengajar materi dengan prespektif pribadinya dan bukan prespektif negara. Semisal bagaimana dia mengajar soal keberagaman antar murid seperti tertuang dalam Pancasila.

Jika dia mengajar leragaman atau pluralism sesuai dengan Pancasila, tidak mungkin dia mengenalkan sebutan kafir untuk memanggil murid lain yang berbeda agama. Kafir dalam konteks agama berbeda dengan konteks sosial kemasyarakatan. Proses-proses intoleransi seperti ini tidak bisa dikesampingkan mengingat dari intomeransi akan menjurus ke faham radikalisme sehingga kita bisa menemukan 19,6% yang menyetujui tindakan kekerasan.

Karena itu mari kita bersama-sama memerangi faham-faham seperti ini secara bersama-sama, dari guru, kepala sekolah, orangtua murid, sampai birokrat di Kementrian Pendidikan. Juga di bidang-bidang lain seperti di bidang pertahanan, pertanian dll. Dengan upaya secara bersama ini kitaharapkan dapat mengikis habis 'duri' intoleransi dan radikalisme di segenap komponen masyakarat Indonesia.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun