Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melawan Intoleransi secara Bersama

15 Januari 2020   05:59 Diperbarui: 15 Januari 2020   06:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penelitian dan survey terkait faham dan sikap intoleransi pada dunia pendidikan sudah sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik lembaga atau NGO yang punya perhatian terhadap radikalisme dan terorisme, maupun lembaga pendidikan seperti beberapa universitas yang juga ingin meneliti sejauh mana sikap dan faham intoleransi masuk ke dunia pendidikan sendiri. Pihak yang juga memantau kasus-kasus seperti ini adalah yang berwenang yaitu Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

Pada tahun 2015, The Wahid Institute sebuah lembagan nirlaba yang didekasikan untuk meneruskan pemikiran pluralis Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meneliti 500 pelajar di wilayah Jabodetabek. Didapatkan bahwa mereka memang mengakui bahwa para pelajar di Jabodetabek memang bersifat terbuka tapi indikasi intoleransi dan radikalisme cenderung mulai muncul dan menguat dari tahun ke tahun.

Dari penelitian itu terungkap meski tidak dominan, bibit intoleransi sudah ada. Semisal yang tak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%.

Lalu penelitian juga dilakukan oleh LAKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) kepada para guru pendidikan Agama Islam dan pelajar. Penelitian ini mendapati bahwa mereka umumnya mendukung tindakan perusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5% dan siswa 41,1%), pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keadamaan yang dituding sesat (guru 22,7 dan siswa 51,3 %) . Mereka juga mengecam dan mendukung pengrusakan tempat hiburan malam (guru 28,1% dan siswa 51,3% dan pembelaan terhadapa umat islam dari ancaman agama lain dengan menggunakan sejata berjulah 32,4% dan siswa 43,3 %.

Dua tahun kemudian yaitu tahun 2017, Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan penelitian soal ini juga.  Dari survey didapatkan bahwa ada 51,1 Persen mahasiswa beragama Islam yang memiliki sikap intoleran terhadap aliran lain seperti Syiah dan Ahmadiah. Selain itu ada 34,3% responden yang punya sikap intoleran terhadap agama lain selain Islam. Yang cikup mencengangkan adalah sebanyak 48,95% mahasiswa memilih untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain atas dasar anjuran agama. Puncaknya adalah 58,5% persen responden mahasiswa atau siswa yang memiliki pandangan radikal.

Tren ini meningkat dari tahun ke tahun sampai 2019 dan 2020. Fenomena yang terjadi adalah menguat pada kota-kota yang memang punya bibit intoleransi sejak 4-5tahun silam. Sedangkan pada kota-kota yang sebelumnya dikenal sangat toleran seperti beberapa kota di jawa Timur dan Kalimantan, intoleransi muncul dengan cepat dikalangan pendidikan. Kota-kota seperti Surabaya atau Malang dan kota seperti Balikpapan dan Banjarmasin kini juga ditengarai intoleransi muncul dan kemudian menguat.

Tentu saja ini merupakan tantangan dan Pekerjaan Rumah yang cukup berat bagi pemangku kepentingan dan kita semua. Benih-benih intoleransi itu ada di dalam permukaan seperti api dalam sekam yang bisa saja menjadi api kapan saja. Tugas kita semua untuk dapat mengkikis dan membuat keadaan lebih baik demi toleransi dan keberlangsungan bangsa kita di kemujdian hari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun