Keheningan dini hari di gubuk itu koyak. Dia menemukan isterinya tewas mengenaskan tergantung di kusen pintu nan rapuh. Kini kusen itu separo ujungnya terburai, tergantung hampir menyentuh lantai tanah nan lembab.
Adzan Subuh baru saja berkumandang. Setengah mengantuk, lelaki paruh baya itu menyeret langkahnya ke arah dapur. Kamar mandi umum itu ada di belakang rumah mereka. Jiwanya baru saja bersemayam dalam raga, ketika sebuah pemandangan memaku langkahnya. Terkesiap dia di depan sosok yang telah tergantung kaku.
Jeritannya pecah, membangunkan seisi rumah. Kelima anaknya sontak berlarian panik. Dan pekik itu susul menyusul, mencabik pagi para penghuni pemukiman kumuh di tepian Ciliwung.
*****
Untuk kepentingan penyelidikan, menjelang siang police line itu telah terpasang di sekeliling rumah itu. Tempat untuk mengurus pemakaman jenazah akhirnya pindah ke mushola kampung. Jenazah telah selesai dikafani. Lelaki itu sendiri yang banyak memberikan instruksi. Di kampung ini dia memang biasa dipanggil jika ada yang meninggal dunia. Tapi kali ini, aktivitas itu menguras energinya. Luar biasa lelah dia, hingga terduduk lemas di samping jenazah.
Pak RT baru saja menanyakan apakah ada famili yang akan ditunggu kehadirannya. Tidak, jawabnya. Tangan kasarnya merengkuh anak-anaknya. Sedu-sedan anak-anaknya belum terhenti. Pasti itu pukulan telak bagi mereka. Siapa yang mengira jalan pintas itu yang ditempuh ibu mereka?
Dua puluh tahun mereka terseok mengayuh bahtera itu. Dan sepuluh tahun terakhir bahtera itu terombang-ambing di tengah kerasnya kehidupan Jakarta. Saat si sulung berumur delapan tahun, dia boyong ketiga anak dan isterinya merambah Jakarta. Sepetak kebun dan sebuah rumah tua yang telah doyong jadi modal awal mereka untuk menaklukkan ibukota. Hanya itu harta yang mereka punyai. Dan desa yang tenang di kaki Gunung Slamet itu pun terasa tak lagi menantang.
"Lik Woyo...mbok ya uwes golek kerjo ning jakarta wae. Neng kono okeh gedung sing dibangun."
Lelaki yang dipanggil Paklik Woyo itu sedang menyeruput kopi panasnya. Dia menilik keponakannya sekilas. Lelaki muda yang beberapa tahun telah memburuh di Jakarta itu, kini menjelma jadi sosok yang berbeda. Pasti pekerjaannya di Jakarta banyak menghasilkan. Tiga ekor sapi dan beberapa petak sawah sanggup dibelinya kini.
Di depan TV hitam putih layar kecil yang sedang menyiarkan berita tentang semaraknya pembangunan di Ibukota, lelaki muda itu menghembuskan asap rokoknya. Dia menawarkan bungkusan itu, pamannya menolak. Asap itu akan membunuhmu perlahan-lahan, gumamnya. Sang keponakan bergeming. Kepulan itu susul menyusul, meliuk-liuk membentuk gumpalan kecil di udara, kemudian sirna menyatu dalam udara pagi yang berembun.
Solusi itu terasa niscaya. Kalau tetap di desa kehidupan kalian takkan berubah, jelas sang keponakan. Akh, siapa yang tak ingin merubah nasib, jika mungkin? Jika tawaran memburuh di desa sedang sepi, memang dia hanya mengandalkan sepetak kebun itu dan beberapa puluh pohon kelapa yang bisa dideres airnya untuk dijadikan gula kelapa. Tapi hasilnya tak seberapa. Sebentar lagi anak-anakmu akan membutuhkan biaya besar jika semuanya telah bersekolah, keponakannya kembali memprovokasi.