Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Es Dawet Hitam dan Panas Terik Daendels

22 Oktober 2015   07:22 Diperbarui: 22 Oktober 2015   10:53 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Panas-panas Enaknya Slruput Es Dawet"][/caption]

Menuju Yogyakarta dari Jakarta, akhirnya kami mencoba menyusuri jalan Daendels. Di sini sebagian jalanannya rusak sehingga kami berkendara bak off road. Tapi kami terhibur oleh panorama muara dan segarnya es dawet hitam khas Purworejo.

Biasanya kami lewat Kota Kebumen dan Kutoarjo, tapi kali ini kami ingin mencicipi jalan kuno yang bernama Daendels ini. Meskipun namanya sama dengan Gubernur Jenderal yang memerintahkan pembangunan Anyer-Panarukan namun ternyata jalan ini tidak ada hubungannya dengan proyek jalan mencapai 1000 km ini. Malah jalan pantai selatan ini jauh lebih tua, diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-14.

Jalanan lurus membentang dengan pepohonan dan diselingi sawah. Jalanannya tidak terlalu ramai dan paling banyak penggunanya adalah pengendara sepeda dan sepeda motor yang membawa hasil bumi dan rumput untuk ternak.

[caption caption="Jalan Daendels yang Relatif Sepi"]

[/caption]

Diam-diam saya mengagumi hasil kerja keras nenek moyang dalam membangun infrastruktur jalan. Pastinya tidak mudah mrmbuka jalan pada masa itu. Jadi ingat ucapan Pak Velix waktu Kompasiana Visit Tol Cipali, bahwa infrastruktur itu penting dan membangun bangsa. Dengan adanya jalan Daendels maka hasil bumi bisa lebih cepat dikirim.

Jalan Daendels ini landai dan tidak banyak berkelok-kelok. Sebenarnya enak lewat di sini karena rindang, ada banyak sawah dan pepohonan juga lumayan sepi. Tapi jalanannya banyak yang rusak dan di beberapa bagian sedang dilakukan pelebaran jalan dimana saat ini saat ngepas untuk dua mobil.

Setelah melalui beberapa jembatan, cuaca semakin terik dan rasanya melihat fatamorgana. Jika memandang jauh ke depan serasa jalanan basah oleh air, tapi ketika tiba di situ jalanan kering kerontang.

Di sebuah jembatan kami melihat beberapa pengendara motor yang asyik bercengkrama sambil menikmati pemandangan. Wah ternyata muaranya terlihat. Di jembatan berikutnya kami turun. Kami melihat sungai sebagai muara dan lautan Indonesia samar-samar.

[caption caption="Muara Sungai Sebelum Mengalir ke Lautan"]

[/caption]

Rasanya agak deg-degan melihat muara yang berwarna kehijauan. Apa ada buaya muara ya? pikir saya. Eh ketika ada mobil lewat, jembatannya bergoyang membuat dada berdesir takut nyemplung. Setelah puas menikmati panorama muara, kami bergegas ke warung karena kepanasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun