Perfilman pada awal 1900an banyak membahas di dua benua, yaitu Amerika dan Eropa. Di kawasan Eropa, negara yang dianggap memberikan banyak pengaruh ke dalam industri perfilman pada masa itu adalah Prancis, Italia, dan Spanyol. Namun, sebenarnya industri perfilman Soviet atau Rusia juga memberikan pengaruh ke film-film mancanegara hingga masa kini, termasuk ke film Indonesia.
Saya mendapatkan wawasan ini ketika menghadiri kelas film yang diadakan secara rutin oleh Montase Film kepada anggotanya. Narasumbernya kali ini adalah Agustinus Dwi Nugroho yang juga dosen film dengan bahasan Soviet Montage.Â
Gerakan Montase Soviet ini berlangsung pada tahun 1924-1930 setelah peristiwa Revolusi Bolshevik pada tahun 1917 yang mengubah sistem Tsar menuju terbentuknya Uni Soviet. Sebenarnya perfilman di Rusia sebelum peristiwa revolusi tersebut sudah cukup maju dengan cukup banyak film yang diproduksi hingga sebelum era Uni Soviet. Film Stenka Razin (1908) dan Lucanus Cervus (1910), misalnya.
Film kemudian dipilih untuk salah satu menjadi media propaganda dan wadah menyatukan warga Uni Soviet. Sekolah film di Soviet didirikan pada tahun 1919. Oleh karena pada saat itu sedang dilakukan pembatasan terhadap ketersediaan raw film, maka sekolah film di awal kehadirannya banyak meneliti tentang film. Salah satunya tentang montase. Film yang diteliti salah satunya The Birth of a Nation (1915)
Ya, kontribusi Soviet kepada industri perfilman ini adalah penelitian tentang montase sehingga kemudian dikenal dengan teori atau gaya montase Soviet. Montase sendiri menurut KBBI adalah "gambar berurutan yang dihasilkan dalam film untuk menggambarkan gagasan yang berkaitan". Montase erat kaitannya dengan proses penyuntingan dalam film. Bahkan montase kerap disebut jantung sebuah film.
Montase Soviet memiliki keyakinan bahwa cara menyunting film, baik dalam mengurutkan gambar, menyesuaikannya dengan ritme musik, atau menyisipkan sesuatu dan lain-lain akan sangat mempengaruhi hasil film itu sendiri. Para tokoh montase Soviet ini di antaranya Lev Kuleshov, Dziga Vertov, Sergei Eisenstein, Â dan Vsevolod Pudovkin.
Ketika tiap gambar pertama dirangkaikan dengan gambar kedua, meski ekspresinya sebenarnya sama menimbulkan persepsi penonton yang berbeda. Persepsinya bisa lapar, sedih, dan memiliki hasrat terhadap wanita tersebut. Hasil eksperimen ini kemudian  disebut efek Kulesov, bagaimana suatu montase yang berbeda juga bisa memberikan persepsi dan efek psikologi yang berbeda.
Sementara itu Dziga Vertov populer dengan gaya Kino-Eye. Ia beranggapan lensa kamera jauh lebih unggul dari mata manusia. Hasil kamera dan penyuntingan bisa menghasilkan narasi yang menarik.
Vertov menggunakan kejadian nyata dan film dokumenter dari aktivitas masyarakat, gerakan buruh dan sebagainya dibandingkan membuat film dengan aktor dan naskah. Ia ahli dalam bercerita dan menciptakan narasi dengan memaksimalkan pergerakan kamera dan bereksperimen dengan penyuntingan. Filmnya yang terkenal adalah Man with a Movie Camera (1929).Â