"Wah pakai kebaya, lagi wisudaan ya?!" Aku tersenyum dan mengangguk. Entah kenapa wisudaan identik dengan menggunakan kebaya dan kain tradisional. Bahkan seringkali lengkap dengan sanggul. Gara-gara susah mengenakan sanggul, aku selalu bingung mencari salon yang bisa menata rambut pagi-pagi sekali saat wisuda.
Dulu ketika akan menjalani wisuda, selain sibuk melengkapi persyaratan wisuda, aku juga puyeng mencari kebaya dan salon. Setelah salon dapat dan kami janjian mulai make up dan menata rambut sejak pukul lima pagi, kini waktunya mencari kebaya.
Sebenernya baju kebayanya sih sudah ada. Ibu dan kakak suka menjahitkan kebaya. Ketika kakak menikah, aku juga mendapat jatah dua kebaya untuk acara ijab kabul dan untuk resepsi pernikahan. Belum lagi koleksi kebaya dari nenek. Tinggal pulang ke rumah dan pilih-pilih kebaya yang cocok beserta paduan kain bawahan alias jarit yang pas.
Sebenarnya masalah kebaya itu bukan dari model  atau warnanya. Melainkan penggunanya. Kebaya itu umumnya ngepas badan dan membentuk tubuh, sehingga aku harus jaga badan agar bisa mengenakan kebaya dengan selaras.
Kebaya yang kugunakan saat nikahan kakak rupanya mulai sesak terutama di bagian perut dan pinggang. Ya mau tak mau aku harus puasa dan berolah raga agar baju kebaya tersebut pas saat hari H.
Pada saat pernikahan, penjahit baju pengantin juga mengingatkanku agar jaga badan agar baju kebayanya pas saat hari H. Baju kebaya akan bagus dikenakan jika tidak terlalu longgar juga tidak kesempitan. Alhasil saat akan menikah, aku rajin berpuasa dan berolah raga. Senangnya ketika baju kebaya pengantin itu terasa meluncur di badan. Pas, sempurna.
Mengingatkan Momen Istimewa
Karena baju kebaya lekat dengan momen istimewa maka aku kadang-kadang menggunakan kebaya untuk acara spesial dan waktu-waktu di mana aku merasa hari itu merupakan momen istimewa.
Pada saat konferensi tentang museum, aku mengenakan kebaya modern dengan selendang. Itu adalah momen yang kental dengan unsur budaya sehingga aku mengenakan kebaya.
Di acara road to Jakarta Film Week ketika aku menjadi narasumber, aku juga menggunakan kebaya plus kain bawahan. Agar memudahkan aku berganti baju di toilet tempat diadakan acara. Aku segera berganti sepatu perempuan, melilitkan kain dan mengenakan kebaya. Tapi karena aku tak pandai menyanggul, aku pun hanya menggerai rambut.
Acara tersebut sukses. Audiens aktif dan antusias. Wah hari aku berkebaya ternyata memang momen yang istimewa.