Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Masalah Industri Perfilman 70an yang Terus Berulang hingga Kini

10 Juni 2021   21:51 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:01 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Pengantin Remaja dulu sangat populer dan membuat industri film 70an bergairah (sumber: MUBI)

Ketika membaca beberapa buku yang membahas tentang industri perfilman nasional tahun 70an dan awal 80an, aku merasa tidak asing dengan semua isu pada masa tersebut. Masalah yang dialami insan perfilman itu entah apakah karena terlalu umum atau belum ada solusinya, maka terus berulang. Hingga kini.

Dari artikel-artikel perfilman nasional yang dikurasi dan dikumpulkan oleh Tempo menjadi beberapa buku, aku pun menarik kesimpulan masalah-masalah yang dihadapi industri perfilman pada tahun 70an hingga awal tahun 80an.

Permasalahan tersebut di antaranya jumlah skenario berkualitas yang terbatas, produser yang lebih sering mementingkan keuntungan, kru film yang itu-itu saja, film nasional yang belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri, meniru atau inspirasi dari film manca, kasus pembajakan, kekuatiran terhadap ancaman media baru, minat masyarakat dan produser film yang kurang terhadap film berbasis sejarah, serta yang terakhir film horor yang merajalela.

Coba teman-teman baca simpulan isu perfilman nasional tahun 70an tersebut, tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini kan?!

Naskah Skenario Berkualitas yang Terbatas dan Peluang Bagi K'ers Menjadi Penulis Skenario Film
Masalah naskah film yang berbobot sudah menjadi masalah menahun. Aktris dan aktornya sudah dipilih yang performanya bagus, namun naskahnya kurang solid dan logis. Alhasil sebagus apapun performa pemainnya, mereka akan kesulitan menyelamatkan cerita.

Masih ingat dengan film "Firegate" yang dibintangi Reza Rahadian atau film yang baru-baru ini tayang, "Tarian Lengger Maut"? yang diperankan Della Dartyan. Mereka adalah pemain film yang bertalenta, namun sayangnya naskahnya lemah di sepertiga film terakhir. Yang terjadi penonton pun kecewa.

Film Firegate (Legacy Pictures)
Film Firegate (Legacy Pictures)
Dua film tersebut naskahnya masih terbilang lumayan, lemahnya terutama di bagian akhir dan beberapa plothole. Ada banyak lagi film-film nasional yang ceritanya kacau-balau hingga membuat waktu terasa terbuang sia-sia ketika menontonnya.

Karena jumlah naskah skenario berkualitas yang masih terbatas, maka para produser pun tak sedikit yang memilih cara untuk mengadaptasi novel-novel populer. Yang sukses di antaranya trilogi Dilan dan trilogi Laskar Pelangi.

Di Hollywood cara seperti ini juga lazim dilalukan. Apabila ada novel laris sekian ekslempar, maka produser pun kemudian mendekati penulisnya agar diijinkan mengadaptasinya. Jika kita lihat film-film keren seperti "Nomadland", "Little Women, dan "The Fault in Our Stars" juga diadopsi dari novel-novel populer.

Namun mengadopsi novel itu sebenarnya tidak mudah. Tidak serta-merta memboyong semua elemennya ke layar lebar. Kasus yang gagal salah satunya adalah "Supernova". Digadang-gadang jadi film yang sukses karena novelnya yang hits pada awal 2000an, film ini kacau-balau, terutama berkat dialognya dan pemeran Diva yang kaku. Dialognya jadi aneh ketika ditampilkan di layar lebar. Tidak natural.

Kurangnya naskah skenario berbobot di industri film nasional ini merupakan kesempatan bagi para penulis di Kompasiana. Siapa tahu dari naskah teman-teman yang rajin diunggah di Fiksiana, lalu dilirik untuk dibuat versi filmnya.

Terinspirasi Atau Plagiat?
Pada awal tahun 80an sempat muncul kasus beberapa film yang diduga plagiat. Cerita dan adegannya banyak yang mirip. Namun sutradaranya berdalih bahwa mereka tak melakukan plagiat. Hanya terinspirasi. Mereka berdalih melakukan beberapa perubahan di sana sini sehingga tak sama persis.

Bercanda dalam Duka diduga plagiat film Hongkong (sumber: Magma Entertainment)
Bercanda dalam Duka diduga plagiat film Hongkong (sumber: Magma Entertainment)
Salah satunya film berjudul "Bercanda dalam Duka" yang disebut jiplakan dari film "Homicide". Ketika ditonton untuk dibandingkan memang sangat mirip, namun lagi-lagi sutradaranya berdalih itu hanyalah inspirasi. Masih ada unsur kreativitasnya.

Untungnya belakangan ini belum muncul lagi kasus-kasus film yang dianggap plagiat. Semoga tidak pernah. Hanya memang ada film-film atau sinetron yang memiliki adegan atau nuansa yang mirip dengan film populer. Film "Rafathar The Movie", misalnya. Ada yang menyebutnya mirip dengan "Baby's Day Out".

Semoga tidak ada lagi kasus-kasus plagiat ke depannya.

Masih Ada Produser Film Berorientasi Keuntungan dan Masih Merebaknya Horor Berkualitas Rendah
Tentang produser yang masih banyak mementingkan keuntungan daripada kualitas film, ini juga masih ada, meski juga selalu ada produser-produser yang idealis. Produser yang hanya memikirkan keuntungan, salah satunya dapat dilihat dari film-film horor dengan kualitas rendah yang masih saja dibuat.
Kenapa film horor? Ini juga menjawab pertanyaan fenomena banyaknya film horor di perfilman nasional. Film horor banyak penggemarnya.

Contoh gampangnya "Conjuring 3" dan "Quiet Place 2". Rame kan jumlah penontonnya? Dibandingkan dengan film "Cruella" dan film Indonesia seperti "Invisible Hopes", jumlah perolehan penontonnya cukup jomplang. Untungnya dua film ini, terutama "Quiet Place 2" layak dapat apresiasi.

Jumlah penonton film horor manca yang banyak sama halnya dengan kondisi film Indonesia. Selain film drama, film bergenre horor mudah mendapatkan penonton. Pada era pandemi ini dua film horor, "Asih 2" dan "Tarian Lengger Maut" masih bisa mendapatkan jumlah penonton di atas 200 ribu penonton. Lagi-lagi untungnya dua film horor ini masih lumayan, hanya kurang di naskah.

Bernafas dalam Lumpur membangkitkan genre horor tahun 70an (sumber: IMDb)
Bernafas dalam Lumpur membangkitkan genre horor tahun 70an (sumber: IMDb)
Nah, film horor itu umumnya memiliki bujet yang rendah. Mereka sengaja menggunakan pemain baru untuk menekan bujet. Dan ketika film ini ditonton sekian ratus ribu penonton, film ini sudah meraih untung.

Kru Film yang Itu-Itu Saja
Coba cek nama-nama penata musik, penata suara, penata make up dan kostum dan lain-lain, apabila diperhatikan nama-namanya itu-itu saja. Peraih penghargaannya juga orang-orangnya rata-rata juga itu-itu saja. Ini menunjukkan regenerasi di antara kru film nasional masih relatif lambat.

Peluang menjadi kru film masih terbuka lebar karena industri film sekarang masih terus berkembang. Apalagi dengan banyaknya media baru seperti YouTube dan aneka platform streaming.

Film Nasional yang Belum Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun. Pada tahun 60an malah sangat minim  film nasional yang ditayangkan.

Namun pada tahun 70an sempat muncul sebuah fenomena unik, di mana industri film Hongkong dan industri film mancanegara lainnya agak lesu.

Di satu sisi minat penonton pada industri perfilman mulai tumbuh. Klop. Saat itu industri perfilman bersuka cita dan bergairah. Meski hal tersebut tak berlangsung lama karena muncul ancaman berupa pembajakan dan kehadiran media baru.

Komposisi film nasional dan film manca di bioskop direkomendasikan 60 banding 40. Namun hal ini dirasa kurang logis oleh banyak pihak. Yang pertama karena jumlah film nasional masih terbatas, rata-rata angkanya masih di bawah 200 buah per tahun.

Yang kedua, kualitasnya juga tidak merata, ada yang bagus, ada yang buruk. Dan yang ketiga peminat film nasional juga tidak sebanyak film manca, sehingga pemilik dan pengelola bioskop pun was-was merugi.

Dulu film-film sedih banyak peminat (sumber: discogs)
Dulu film-film sedih banyak peminat (sumber: discogs)
Entah bagaimana solusi terbaiknya? Sepertinya perlu dimulai dari peningkatan kualitas film Indonesia sehingga nantinya makin banyak penggemar film Indonesia. Jika peminatnya banyak maka pengelola bioskop juga pasti tergoda untuk menambah layar seperti kejadian pada film "Pengabdi Setan" dan "Warkop DKI Reborn Part I".

Film Sejarah yang Minim Dibuat
Tidak mudah membuat film sejarah. Ada banyak kriteria untuk membuat film sejarah. Keakuratan, urutan peristiwa, di antaranya.

Para pemain dan sutradaranya juga rawan stress karena beban berat di pundaknya. Film "R.A Kartini", misalnya. Syumandjaya, sang sutradara bobotnya langsung turun 8 kg, sedangkan Lenny Marlina, pemeran Kartini enggan berperan di film sejarah lagi karena beban beratnya memainkan tokoh besar.

Belakangan ini film sejarah jarang dijumpai. Film "Bumi Manusia" dan "Kartini" cukup sukses, namun film seperti "Wage" dan "Sultan Agung" tak banyak peminatnya.

Padahal film sejarah sangat banyak manfaatnya. Nyoo Han Siang produser film "November 1828 " tak kapok membuat film sejarah. Baginya film sejarah itu memiliki manfaat mengenalkan sejarah Indonesia ke generasi muda, memberikan pendidikan dan wawasan, serta mengorbarkan semangat menghargai pahlawan. Roy Marten, produser dan pemeran Wolter Monginsidi juga memberikan alasan, dari menyaksikan film sejarah maka penonton akan dapat belajar dari sejarah.

Film sejarah makin minim dibuat (sumber: magmaentertainment)
Film sejarah makin minim dibuat (sumber: magmaentertainment)
Pembajakan dan Ancaman Media Baru
Wah tanganku sudah pegal ngetiknya. Untungnya sudah masuk topik terakhir hehehe.

Pembajakan masih sulit diantisipasi meski sekarang makin sedikit dijumpai lapak-lapak penjual DVD bajakan karena saat ini tarif langganan platform streaming semakin terjangkau. Jenis platform-nya semakin beragam. Ada yang bisa langganan harian juga.

Dulu pada tahun 70 dan awal 80an film Indonesia laris tayang di Singapura, Brunei, dan Malaysia. Namun ketika kemudian ada era video, industri film mulai rapuh. Hal ini diperparah dengan maraknya pembajakan kaset video.
Di kota-kota besar, 6 dari 10 keluarga punya pemutar video. Sehingga mereka pun lebih banyak memilih nonton film video rame-rame daripada ke bioskop.
Adanya pembajakan pun membuat harga kopi film ambruk. Yang dulunya harga film berkisar Rp 77 juta per kopi anjlok hanya jadi Rp 5-6 jutaan.
Kini sosok yang memberikan peluang dan ancaman itu adalah platform streaming. Ia menjadi ancaman bagi industri bioskop karena sebagian penonton sudah mulai merasa nyaman bisa nonton kapan saja dengan harga relatif terjangkau.

Sedangkan bagi produser film platform streaming bisa jadi alternatif. Apalagi pada masa pandemi ini. Nunggu antrian tayang film, panjangnya seperti apa.

Ada juga yang menggunakan langkah tengah, putar di bioskop juga putar di platform streaming seperti Warner Bros dengan HBO Max-nya. Nanti akan saya bahas kapan-kapan strategi dari pembuat dan distributor film dengan adanya platform streaming ini. Jemariku ternyata sudah pegal.

Selamat beristirahat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun