Target pagi lumayan bikin ngos-ngosan: 5--7 tulisan untuk Lembangnews.com, 1 tulisan untuk Kompasiana, dan 1 video pendek untuk YouTube Shorts. Kalau bos kantor punya jam finger print, emak penulis freelance punya alarm tukang sayur lewat. Itu tandanya waktu sudah mepet.
Tapi sebenarnya, kerja paling padat bukan di pagi. Justru mulai jam 10. Saya harus masak makan siang, mengantar bekal makan siang anak ke sekolah, lalu keluar lagi untuk cari bahan tulisan di lapangan. Sorenya? Deadline menunggu. Kalau malam? Masuk ke setelan cosplay jadi koki merangkap waitress dan dishwasher.
Sulitnya jadi ibu penulis freelance adalah menjaga fokus. Baru ketik satu paragraf, kepikiran kompor. Baru tulis satu kalimat, keinget jemuran. Otak terbagi antara urusan rumah tangga dan deadline penulis. Kalau kata saya, multitasking emak itu bukan bakat, tapi keterpaksaan.
Bagian III -- Refleksi: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Pagi Emak?
Beban ganda ibu itu nyata. Dari urusan domestik sampai pekerjaan freelance, semua harus kelar. Kalau ada yang masih bilang ibu rumah tangga cuma rebahan, saya mau kasih pertanyaan: "Kalau ibu-ibu rebahan, siapa yang bangunin anak sekolah tiap pagi?"
Fakta sederhana: pekerjaan domestik sering tak dihitung sebagai kontribusi ekonomi. Padahal nilainya tinggi kalau dipasangkan angka. Dari cuci piring sampai antar anak sekolah, semuanya adalah energi, waktu, dan tenaga.
Jadi, ketika emak penulis freelance tetap bisa menyelesaikan deadline setelah chaos pagi, itu bukan sekadar "biasa aja". Itu kerja keras dengan peran ganda ibu yang jarang dihargai.
Pelajarannya, rutinitas ibu memang kelihatan sederhana, tapi sebenarnya penuh strategi, improvisasi, dan stamina luar biasa.
Bagian IV -- Solusi ala Emak Produktif
Supaya nggak jadi monster galak tiap pagi, emak harus punya strategi. Ini tips yang sering saya pakai:
1. Siapkan bekal atau perlengkapan anak malam sebelumnya.
2. Atur jadwal menulis pas anak sudah di sekolah.
3. Gunakan timer sederhana (15--25 menit) untuk fokus.