Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Menata Negeri dari Pemimpin Solo

15 Mei 2013   08:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:33 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu spot di taman Balekambang (solopos.com)

Kamis (9/5/2013) dalam acara welcome dinner ASEAN Blogger Festival 2013 di Solo memberikan kesan mendalam terhadap diri saya. Di samping banyak cerita dan hal baru yang saya peroleh, salah satu hal yang paling menarik adalah ketika malam itu saya mendengar pidato sambutan dari bapak walikota Solo, Fx Hadi Rudyatmo, atau yang lebih akrab dipanggil pak Rudy. Orang nomor satu di kota Solo menyampaikan beberapa falsafah yang kuat dipegangnya dalam memimpin dan membangun Solo. Salah satunya adalah “Solo masa depan adalah Solo masa lalu”.

Kenapa menarik? Mari kita tengok lebih dalam!

Bagi sebagian orang mungkin ungkapan hanya sekedar ungkapan yang selesai ketika lepas dari bibir dan masuk ke pendengaran. Saya ambil contoh sederhana, manakala pancasila menjadi pegangan bagi kehidupan di negeri ini, seharusnya setiap ungkapan dalam sila-silanya benar-benar menjadi dasar dalam melakukan segala tindakan. Namun apa yang terjadi dengan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” jika ternyata orang-orang di negeri ini tega mencaplok hak saudaranya untuk kepentingan diri sendiri, Korupsi! Seharusnya tidak begitu ketika sebuah ungkapan seharusnya menjadi dasar dalam tindakan. Pun begitu dengan falsafah “Solo masa depan adalah Solo masa lalu” bagi walikota Solo adalah sebuah dasar dalam memimpin Solo dan bukan sekedar ungkapan yang habis setelah masuk gendang telinga.

Dengan falsafah ini, pemimpin Solo membangun Solo tidak sekedar dengan visi untuk menjadi luar biasa di masa depan namun juga tetap memperhatikan bagaimana seharusnya kearifan local yang berasal dari masa lalu juga menjadi pokok penting dalam membangun Solo di masa depan. Pernyataan Jokowi yang saya kutip dari Kabarsoloraya.com mengenai Solo masa depan adalah Solo masa lalu, “Konsep itu sebenarnya biasa saja, tidak ada yang hebat. Intinya, tidak semua yang lama harus dibuang. Seperti kehidupan, tidak selamanya kita tidak membutuhkan barang lama kan? Terutama jika barang itu menyimpan kenangan. Kota juga seperti itu. Hanya saja ini lebih kompleks. Intinya, pembagungan Kota Solo harus bertumpu pada potensi budaya yang dimilikinya.”

Salah satu tindakan nyata dari prinsip Solo Masa Depan adalah Solo Masa lalu ada pembangunan kembali taman Balekambang dalam pemerintahan Jokowi. Dulu pada masa awal abad 19, taman Balekambang ini sempat jaya di Solo, kemudian tenggelam dan kemudian pada masa pemerintahan Jokowi, taman Balekambang di bangun kembali dan menjadi salah satu spot yang menjadi tempat menarik di Solo kemudian.

[caption id="attachment_894" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu spot di taman Balekambang (solopos.com)"][/caption]

Jokowi dalam Indonesia kreatif.com mengungkapkan, “Mengembalikan Balekambang seperti ketika KGPAA Mangkunegoro VII pada tahun 1921, harus dengan pendekatan yang benar. Pelan namun optimis, semangat bahwa Solo Masa Depan Adalah Solo Masa Lalu, secara tersadarkan akan menjadi pemahaman para warga yang selama ini diuntungkan oleh keberadaan Balekambang pra revitalisasi. Bahwa Balekambang harus dikembalikan karena secara legal maupun kemanfaatan, mereka mesti mau berkorban. Maka setelah semua setuju, tahun 2008, pembangunan dimulai,”

Ketika pada suatu titik tertentu, negara atau kota membangun dirinya hanya dengan visi untuk tampil hebat di masa depan, turut pada arus modernisasi maka pada berawal dari titik tersebutlah suatu negara atau kota akan dengan perlahan kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Boleh jadi, apa yang menjadi dasarnya dalam membangun adalah bukan jati diri pada penduduk di dalamnya. Lalu kenapa pembangunan dengan orientasi masa depan saja? Coba kita lihat lagi siapa yang tinggal dalam suatu negara atau kota paling lama? Dialah mereka yang tidak lain adalah orang-orang yang berasal dari masa lalu yang semakin menua dan meninggalkan generasi anak cucu. Kenapa tidak coba melihat masa lalu dan mempertimbangkan seperti apa kota atau negara di masa lalu pernah jaya dalam kurun waktu yang lama, maka dalam moment seperti itulah jati diri dari suatu negara atau kota dapat dipertimbangkan sebagai acuan untuk membangun masa depan.

Jadi pada akhirnya, Indonesia dulu Indonesia sangat sohor dengan keagrarisannya, dengan baharinya dan dengan budayanya, kenapa tidak kembali kepada Indonesia di masa lalu dengan memperhatikan segenap kearifan local yang bercecer di seantero negeri. Kenapa mesti membentuk sisi kesohoran yang baru, Indonesia membabat lahan hutan dan pertanian untuk mendirikan gedung pencakar langit? Berbudaya sudah kalah dengan arus modernisasi, toh lagu pop dari negeri seberang lebih popular ketimbang lagu macam Bengawan Solo, jogetan ala K-Pop juga lebih sohor di negeri ini lebih dari jogetan gambyong yang menawan dan menjadi identitas negeri pada masa dahulu.

Selain ungkapan Solo masa depan adalah Solo masa lalu, ada satu lagi falsafah menarik yang disampaikan oleh bapak walikota malam itu, yakni Nguwongne Uwong atau Memanusiakan manusia. Kenapa menarik? Ya tentu saja, sadar atau tidak sadar, yang saya lihat sebenarnya sebagian orang di negeri ini lebih gemar memper’main’kan, me’rupiah’kan atau meng’kambing’ (hitam)kan manusia lainnya. Lalu kalau siklus semacam itu terjadi pada semua manusia di negeri ini, boleh jadi suatu ketika sudah tidak ada manusia lagi di pelataran negeri, semua akan berubah menjadi mainan, rupiah, kambing atau hal lainnya. Mengerikan, bukan?

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dapat berfikir dengan cara paling sempurna di antara semua makhluk ciptaan Tuhan. Manusia punya hati, punya rasa dan punya sisi social. Ketika seorang pemimpin bisa memimpin sampai sebagian tangan dan pemikirannnya dapat menyentuh hati orang-orang yang duduk jauh dari tingginya kursi kepemimpinan yang didudukiyan, maka pada saat itulah sebenarnya pemimpin dapat memimpin pada hakikat sesungguhnya. Karena ya adanya pemimpin yang untuk rakyatnya, yang namanya kunjungan ke luar negeri, menghadiri jamuan itu tadi kan hanya nilai tambah saja, yang utama ya tetap ada untuk rakyatnya, ya toh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun