Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Ahok Sebaiknya Memakai Peci?

25 Maret 2017   15:48 Diperbarui: 25 Maret 2017   15:55 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

   Surabaya, Juni 1921, pada rapat Pemuda Jawa (Jong Java), seorang pemuda berkisar umur 20 tahun-an masuk ke ruangan dengan langkah pasti. Setiap orang terheran melihatnya. Mereka ternganga melihat pemuda itu memakai peci. Sesuatu yang tak biasa pada masa itu. Pemakaian peci, blankon, sarung dipandang sebagai cara berpakaian kaum yang lebih rendah.

 

   "....Kita memerlukan sebuah simbol dan kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka", ujar pemuda itu pada orasinya. Pemuda itu tak lain adalah Soekarno. Kisah itu kemudian dituturkannya kembali kepada Cindy Adams, penulis otobiografi yang ditunjuk sendiri olehnya.

 

   Sejak saat itu, peci hampir tak pernah lepas dari kepala Bung Karno. Sukarno bukan orang yang pertama kali memakai peci. Sebelumnya, Tjipto Mangunkusumo telah memakai peci. Namun, Sukarno lah orang yang pertama kali menggagas peci sebagai identitas Bangsa. Suatu simbol nasionalisme, dan bukan sebagai simbol serta identitas agama tertentu. 

 

   Oleh karenanya Cawagub Djarot tepat sekali memberi jawaban soal peci yang dipakainya pada surat suara Pilkada DKI putaran ke-II. Bahwa Bung Karno lah yang pertama kali mempopulerkan pemakaian peci. Sebelum itu pemakain "fez" Turki berwarna merah menyala lebih populer di kalangan intelektual muda Indonesia ketika itu. 

 

   Demikian pula dengan pernyataan Djarot yang menyebut peci sebagai identitas Indonesia. Sejak digagas oleh Sukarno, peci bukan lagi sebagai identitas agama atau golongan tertentu, tetapi indentitas Bangsa Indonesia. Terbukti ketika Partindo, pada pertengahan tahun 1932, menyerukan kampanye, yang diilhami oleh gerakan swadesi di India, agar memakai barang-barang buatan Indonesia, masyarakat mulai memakai peci hasil tenunan tangan yang bermotif lurik. Tanpa memandang dari lapisan mana mereka berasal.

 

   Jadi sungguh mengherankan bila ada segelintir orang yang mempermasalahakn soal peci Djarot. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan urusan contek-mencontek pasangan calon (paslon) tertentu. Lebih konyolnya yaitu komentar "nyinyir" yang mengkaitkan pemakain peci Djarot dengan keinginan menarik massa muslim.

 

   Saya pribadi tak merasa heran. Saya jutru heran dengan Ahok yang memutuskan tidak memakai peci. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia seharusnya Ahok memakai peci bukan? Jika memakai peci bagian dari strategi, mengapa Ahok tidak memakai peci saja? Bukankah Ahok dan pecinya akan sanggup meredam isu soal nasionalisme, sekaligus menarik simpati masyarakat muslim?

 

   Tapi, menyimak betapa brutalnya Pilkada Jakarta dalam memainkan isi SARA, saya bersyukur Ahok memutuskan tidak memakai peci.

 

   Lha wong Djarot yang jelas-jelas Haji dipersoalkan memakai peci, apalagi Ahok yang bukan muslim. Saya takut -nanti- ada orang yang buta sejarah dan malas membaca menyeret foto Ahok memakai peci ke urusan SARA.

 

   Urusan SARA yang satu saja belum selesai, eh...timbul urusan baru soal "peci". Aya-aya wae!

 

   Gitu Aja koq repot!

 

   Selamat menikmati pentungan

 

   Penulis adalah santri di salah satu pesantren terkenal di Jawa Barat yang berafiliasi ke NU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun