"Benih cinta tak pandang siapa!", demikian syair lagu Bang Iwan dalam "Lonteku". Semudah itukah cinta diterjemahkan. Hanya dalam bentuk sebait syair. Benarkah "benih cinta tak pandang siapa".
Aku, sebut saja demikian, seorang santri di salah satu pesantren terkenal di Kota Bandung. Sedari kecil, aku telah terbiasa hidup dalam lorong-lorong gelap sebuah Pesantren. Delapan tahun waktu yang telah kujalani di antara dentuman-dentemun suara rebana Santriwati, dan hingga kini masih.
Meilani, akrab dipanggil Mei-mei, sebaliknya dengan diriku. Faktor ekonomi telah membuatnya terpuruk ke dalam lembah nista. Di usia dini, ia telah berkubang dalam belaian puluhan laki-laki tanpa cinta sedikitpun tersirat di hatinya. Ia habiskan malam di lorong-lorong gelap sebuah losmen hingga bintang mulai menarik selimutnya.
Bang Iwan menyebutnya Lonte. Kita menyebutnya pelacur. Sebagian memanggilnya dengan WTS. Sementara aku mengenalnya sebagai manusia. Sosok wanita yang tegar menghadapi gilasan roda jaman. Wanita yang sanggup menggetarkan sanubariku. Mengguncang hebat jiwaku, bukan dengan pesonanya yang tersaput bedak tebal, namun kepribadiannya dalam memandang dunia.
Satu yang menjadi dilema. Yang kerap menjadi ganjalan dalam batinku. Apakah diperkenankan seorang santri memadu kasih dengan "wanita jalang" seperti dirinya. Bagaimana pandangan masyarakat terhadapnya, apakah diriku akan turut ternista seiring dengan tumbuhnya benih cinta di hati kami berdua. Haruskah aku jujur pada nuraniku atau menyerah pada "pandangan" najis sebagian kita terhadap sosok seperti Meilani.
Hmmm...memang cinta tak semudah bait dalam lagu bahwa "Benih cinta tak pandang siapa".
Salam berang-berang.
Selamat menikmati hidangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI