Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Telaah Cara Beragama FPI: Dari Fundamentalisme ke Extrimisme

24 Oktober 2014   15:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:54 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

FPI (Front Pembela Islam) kembali menjadi bahan perbincangan hangat di Indonesia. Seperti biasa, tingkatnya yang bak "polisi aqidah" yang membawanya ke tangga popularitas itu. Gebrakan demi gebrakan berjargon "amar ma'ruf nahi munkar" senantiasa dihadirkan, yang terakhir ialah ketika berunjuk rasa menolak Ahok yang berujung rusuh dan diamankannya beberapa anggota FPI.

Terlepas dari sikap setuju atau tidak, yang pasti kehadirannya sanggup memberi warna riak gerakan Islam di Tanah Air. Bagi yang setuju, ia dianggap sebagai pengganti kehadiran aparat keamanan yang kerap kehilangan taji takkala berhadapan dengan para culong berkantung tebal. Di sisi lain, bagi yang tidak setuju, FPI dianggap telah memberi polusi terhadap makna Islam (secara harfiah berarti damai) dengan cara-caranya yang menjurus ke arah radikalisme.

Menarik untuk dicermati ialah penggunaan kata radikal untuk menyikapi cara-cara yang dipertontonkan oleh FPI selama ini yang memberi kesan brutal. Sebab radikal biasanya lahir dari ke-fundamental-an berpikir. Sehingga tesis dari Hasan Hanafi makin mendapatkan ruang pembenaran bahwa "fundamentalisme Islam telah bergeser menjadi radikalisme Islam".

Jika dahulu fundamentalisme Islam berkonotasi positif di tangan ulama-ulama semisal Ibn Taimiyyah (ulama yang begitu dipuja oleh kaum Wahabi), kini ia -fundamentalisme- berkonotasi negatif di tangan sekelompok orang yang bergerak memberantas kemungkaran dengan mengatasnamakan agama. Fundamentalisme Islam yang pada awalnya dianggap sebagai rotor awal penggerak kebangkitan Islam, justru belakangan menjurus kepada aksi-aksi yang mencemarkan nama Islam itu sendiri.

Dahulu saya pernah membuat artikel bertajuk "Cara Beragama yang Menyebabkan Gangguan Kejiwaan". Saya tergelitik membahas pernyataan Nietzche bahwa "orang beragama bagai orang yang sakit jiwa". Walhasil, bukan agama yang menyebabkan gangguan kejiwaan, melainkan cara kita beragama lah yang menyebabkan gangguan kejiwaan atau cara memahami teks-teks agama lah yang telah mengantarkan seseorang mengidap penyakit jiwa, yang pada akhirnya melakukan berbagai tindakan yang merugikan dirinya dan pribadi lainnya.

Yusuf Qardhawi, seorang ulama terkemuka Mesir, membabarkan setidaknya 5 ciri-ciri kelompok yang telah salah memahami Islam. Sehingga rasa fanatisme dan sikap fundamentalisme (yang seharusnya berkonotasi positif) telah mengantarkan seseorang kepada jurang extrimisme.

Berikut ciri-ciri mereka:

1. Acapkali mengklaim kebenaran tunggal. Sehingga hanya pendapat mereka lah yang benar dan pendapat lainnya adalah salah. Walhasil mereka memposisikan dirinya sebagai "nabi" yang diutus oleh Tuhan untuk meluruskan kembali apa-apa yang dinilai buruk dan tak sepaham oleh mereka.

2. Cenderung mempersulit agama, dengan menganggap sesuatu yang seharusnya "sunnah" sebagai wajib dan sesuatu yang makruh sebagai haram. Memanjangkan jenggot dan bercelana di atas mata kaki sejatinya adalah hal-hal yang "Sunnah" yang tidak mempengaruhi kadar keimanan seseorang, tetapi bagi mereka kedua contoh tersebut adalah sesuatu yang wajib. Apabila anda melakukannya, maka anda telah berislam secara "kaffah", dan bila meninggalkannya, maka "wa'la dan ba'ra" anda terhadap Islam wajib dipertanyakan.

Sementara masih banyak persoalan-persoalan umat, yang sejatinya wajib, justru dikesampingkan dan lolos dari perhatian. Semisal, "sudahkah zakat kita mampu memberantas kesenjangan sosial?" atau "sudahkah shalat mampu menjauhkan kita dari kemungkaran dan kekacauan sosial?." Mereka lebih berkutat kepada kulit dan mengesampingkan isi.

3. Mengalami "over dosis" agama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah, mereka mengesampingkan metode "gradual" yang "step by step" yang digunakan oleh Nabi. Kepalan tangan dan pentungan lebih dipilih oleh mereka ketimbang dialog.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun