Hari Raya Nyepi merupakan salah satu hari raya terpenting bagi umat Hindu, khususnya di Bali, yang menandai pergantian Tahun Baru Saka. Pada hari ini, seluruh aktivitas masyarakat dihentikan total. Jalan raya, pusat perbelanjaan, hingga bandara internasional pun ditutup selama 24 jam. Nyepi dijalani dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian, yaitu empat pantangan utama: tidak menyalakan api atau cahaya, tidak bekerja, tidak bepergian, dan tidak mencari hiburan. Melalui keheningan dan penghentian aktivitas ini, umat Hindu diarahkan untuk melakukan refleksi diri, menjaga keseimbangan batin, serta memberi kesempatan bagi alam untuk kembali pulih. Sehari sebelumnya, masyarakat biasanya menggelar pawai ogoh-ogoh. Patung raksasa ini melambangkan kekuatan negatif yang kemudian diarak dan "dilenyapkan" sebagai simbol penyucian diri dan lingkungan. Setelah melewati hari hening, keesokan harinya dirayakan Ngembak Geni. Pada momen ini, aktivitas kembali berjalan normal. Umat Hindu memaknainya sebagai awal yang baru dengan menyalakan api, berkumpul bersama keluarga, saling berkunjung, dan memaafkan satu sama lain. Tradisi ini menegaskan pentingnya mempererat hubungan sosial dan menata kehidupan dengan hati yang bersih. Dengan demikian, rangkaian Nyepi dan Ngembak Geni bukan sekadar ritual, melainkan juga wujud nyata filosofi hidup untuk mencapai keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Ajaran Catur Marga dalam agama Hindu sangat terasa dalam rangkaian Hari Raya Nyepi dan Ngembak Geni. Bhakti Marga, jalan pengabdian tulus kepada Tuhan, tampak saat umat menjalani Catur Brata Penyepian dengan doa dan hening sebagai wujud bhakti. Pada Ngembak Geni, bhakti diwujudkan melalui sikap saling memaafkan dan mempererat hubungan antarsesama. Karma Marga tercermin dalam tindakan nyata, mulai dari persiapan upacara seperti melasti dan ogoh-ogoh, hingga menahan diri dari aktivitas duniawi selama Nyepi, serta membantu sesama dan menjaga keharmonisan saat Ngembak Geni. Jnana Marga hadir dalam keheningan Nyepi yang memberi ruang untuk merenung, memahami diri, dan menata kembali langkah hidup, sehingga Ngembak Geni menjadi awal baru yang penuh kebijaksanaan. Raja Marga, jalan pengendalian diri, menjadi inti Nyepi melalui disiplin menahan diri dari api, pekerjaan, perjalanan, dan kesenangan. Latihan pengendalian ini membuahkan ketenangan jiwa yang tercermin dalam sikap damai setelah Ngembak Geni. Dengan demikian, Nyepi dan Ngembak Geni bukan hanya perayaan, melainkan praktik nyata Catur Marga. Keempat jalan spiritual itu berpadu menjadi pengalaman religius yang menyucikan diri, memperkuat hubungan sosial, serta membangun harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Sloka dalam Bhagavad Gita 7:21 menjelaskan bahwa Tuhan menghargai segala bentuk keyakinan manusia. Apa pun wujud pemujaan yang dipilih, selama dijalani dengan penuh ketulusan dan keyakinan, Tuhan akan mengukuhkan keyakinan itu dan memberikan berkah yang sepadan. Ajaran ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ada yang merasa dekat dengan Dewa Wisnu, ada yang memilih memuja Siwa, dan ada pula yang memusatkan bhaktinya kepada Dewi Saraswati. Semua itu sah adanya, karena yang terpenting bukan bentuk luar pemujaan, melainkan kesungguhan hati dalam menjalankannya. Â Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini tampak dalam berbagai cara orang berdoa dan bersyukur. Seorang siswa yang dengan tulus memuja Dewi Saraswati akan merasakan berkah berupa ketajaman pikiran dan kemudahan dalam belajar. Seorang petani yang berdoa kepada Dewa Wisnu akan merasakan keyakinan dan ketenangan saat menanti hasil panennya. Demikian pula seorang seniman yang memuja Dewi Sri atau Dewi Laksmi bisa menemukan inspirasi dan rasa syukur dalam karyanya. Semua keyakinan itu akan semakin mantap karena Tuhan sendiri yang meneguhkan hati mereka. Sloka ini juga mengajarkan nilai kemanusiaan yang tinggi, yaitu menghormati perbedaan jalan spiritual yang ditempuh orang lain. Dalam masyarakat yang beragam, ada banyak cara orang menyebut dan menyembah Tuhan, tetapi semuanya tetap menuju pada sumber yang sama. Karena itu, tidak perlu merendahkan keyakinan orang lain, melainkan justru menghormatinya sebagai wujud dari kehendak Tuhan sendiri. Dengan sikap seperti ini, manusia tidak hanya menjadi lebih kuat dalam keyakinannya, tetapi juga lebih mampu hidup berdampingan dalam kerukunan dan toleransi.
Sloka Sarasamuccaya I.4 ini menekankan betapa berharga dan utamanya kelahiran sebagai manusia. Menjadi manusia bukanlah sesuatu yang sederhana, melainkan sebuah kesempatan yang sangat mulia, karena hanya dalam wujud manusia seseorang bisa berusaha membebaskan dirinya dari penderitaan lahir dan mati berulang-ulang. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, melainkan dipakai untuk melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat, atau dalam ajaran Hindu disebut subhakarma. Dalam beragama, sloka ini bisa dijalankan dengan cara sederhana namun bermakna. Menjadi manusia berarti kita diberi kemampuan berpikir, membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memilih jalan kebajikan. Maka, kita dapat memperbanyak sembahyang dengan hati yang tulus, memuja Tuhan dengan cara yang diajarkan, sekaligus menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan alam sekitar. Melalui perilaku jujur, disiplin, tidak menyakiti makhluk lain, dan selalu berusaha menolong sesama, kita memanfaatkan kelahiran ini untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi. Kelahiran sebagai manusia juga memberi kesempatan untuk menimba pengetahuan spiritual, mempelajari kitab suci, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, beragama tidak hanya menjadi ritual, tetapi benar-benar menjadi jalan pembebasan dari penderitaan, seperti yang diajarkan dalam sloka ini. Intinya, dengan menjelma sebagai manusia, kita punya tanggung jawab untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, melainkan memanfaatkannya sebaik-baiknya untuk berbuat kebajikan, menjaga kesucian diri, dan menapaki jalan menuju moksa.
Tempat suci Hindu tidak hanya berfungsi sebagai sarana memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, tetapi juga sebagai tempat menghaturkan bakti kepada roh leluhur dan orang suci yang dihormati. Di Bali, pemujaan ini dilakukan di pura tertentu yang dikenal dengan nama Pura Dadya, Pura Kawitan, dan Pura Pedharman. Pura Dadya dimiliki oleh satu keluarga besar dari satu leluhur dan menjadi pusat pemujaan roh leluhur yang telah disucikan melalui pitra yadnya. Melalui pura ini, keluarga berkumpul pada hari suci untuk berdoa bersama, memperkuat rasa persaudaraan, dan menjaga kesinambungan hubungan spiritual dengan leluhur. Pura Kawitan adalah pura asal-usul, diperuntukkan bagi leluhur pertama atau leluhur tertua dari suatu soroh. Fungsi pura ini lebih luas karena menghubungkan seluruh keturunan dengan leluhur kawitan-nya, sekaligus mengingatkan umat akan jati diri dan akar budaya spiritualnya. Pura Pedharman dibangun khusus untuk memuja leluhur yang sudah mencapai tingkat kesucian tinggi, seperti seorang sulinggih atau tokoh suci yang berjasa bagi keluarganya. Pemujaan di pura ini merupakan wujud penghormatan dan teladan spiritual bagi keturunan. Dengan demikian, keberadaan pura dadya, kawitan, dan pedharman bukan hanya sebagai tempat persembahyangan, tetapi juga simbol penghormatan leluhur, pengikat identitas spiritual, dan sarana menjaga keharmonisan antara leluhur dan keturunan. Melalui pura-pura tersebut, umat Hindu diingatkan untuk selalu berbuat baik, melestarikan warisan leluhur, serta meneguhkan bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pura di Bali memiliki fungsi yang sangat penting sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Dalam struktur keagamaan desa adat, dikenal adanya Pura Tri Kahyangan yang terdiri dari Pura Desa untuk memuja Brahma, Pura Puseh untuk memuja Wisnu, dan Pura Dalem untuk memuja Siwa. Selain itu, ada juga Pura Sad Kahyangan sebagai enam pilar spiritual utama Bali, serta Pura Dang Kahyangan yang erat kaitannya dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha. Semua jenis pura ini berfungsi sebagai pusat pemujaan sekaligus penyangga keseimbangan rohani umat Hindu di Bali. Sebagai contoh, Pura Dalem Ped di Nusa Penida sering dikaitkan dengan Dewa Wisnu yang dalam beberapa tradisi dipuja juga melalui awataranya. Kemudian, Pura Penataran Agung Besakih sebagai pura terbesar di Bali memiliki pelinggih khusus untuk pemujaan Wisnu, dan di sana umat juga mengingat Rama maupun Kresna sebagai titisan Wisnu. Selain itu, di beberapa pura desa atau dadya, terutama yang memiliki tradisi menekankan kisah Ramayana atau Mahabharata, pelinggih tertentu digunakan untuk menghaturkan bakti kepada Rama dan Kresna, misalnya dalam bentuk Pelinggih Wisnu Murti. Yang menarik, ada pula pura yang menghidupkan kisah Ramayana dan Mahabharata lewat tari sakral atau upacara yadnya, sehingga Rama dan Kresna bukan hanya dihormati dalam wujud pratima atau pelinggih, tetapi juga melalui seni pertunjukan yang menyatu dengan kegiatan ritual.
Tempat suci Hindu tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, tetapi juga menjadi ruang untuk menghaturkan bakti kepada roh leluhur dan orang suci yang sangat dihormati. Di Bali, pemujaan ini diwujudkan melalui keberadaan pura-pura khusus yang dikenal dengan nama Pura Dadya, Pura Kawitan, dan Pura Pedharman. Pura Dadya merupakan pura yang dimiliki oleh satu keluarga besar yang berasal dari satu leluhur. Di sinilah keturunan berkumpul pada hari-hari suci untuk menghaturkan doa dan persembahan kepada leluhur yang telah disucikan melalui upacara pitra yadnya. Pemujaan di Pura Dadya tidak hanya memperkuat hubungan spiritual dengan leluhur, tetapi juga mempererat persaudaraan dalam lingkup keluarga besar, sehingga tercipta kebersamaan yang diwariskan turun-temurun. Sementara itu, Pura Kawitan berfungsi sebagai pura asal-usul yang diperuntukkan bagi pemujaan leluhur pertama atau leluhur tertua dari suatu soroh. Pura ini memiliki arti penting karena menghubungkan seluruh keturunan dengan leluhur kawitan-nya, sekaligus mengingatkan umat agar selalu sadar akan jati diri dan akar spiritualnya. Dengan hadirnya Pura Kawitan, umat Hindu senantiasa diingatkan untuk menjaga tradisi, menghormati leluhur, dan memperkokoh rasa kebersamaan dalam satu ikatan soroh. Adapun Pura Pedharman dibangun secara khusus untuk menghormati leluhur yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi, seperti seorang sulinggih atau tokoh suci yang berjasa besar. Melalui pemujaan di Pura Pedharman, umat tidak hanya menghaturkan bhakti, tetapi juga meneladani nilai-nilai dharma yang diwariskan leluhur. Kehadiran pura ini menjadi pengingat bahwa perjalanan hidup manusia dapat mencapai tingkatan suci apabila dijalani dengan kebajikan. Dengan demikian, Pura Dadya, Pura Kawitan, dan Pura Pedharman tidak hanya menjadi tempat persembahyangan, tetapi juga wujud penghormatan kepada leluhur, pengikat identitas spiritual, serta sarana menjaga keharmonisan antara leluhur dan keturunannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI