Mohon tunggu...
Devy Puspita
Devy Puspita Mohon Tunggu... Content Writer

just; chocolate, ice cream, and strawberry.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rabiah al-Adawiyah: Perempuan Sufi, Cinta Ilahi, dan Warisan Sosial-Budaya yang Abadi

2 Oktober 2025   08:11 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:11 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang wanita sedang membaca kitab (Sumber: Pexels/RDNE Stock Project). 

Ketika berbicara tentang tokoh-tokoh sufi, nama besar seperti Jalaluddin Rumi atau Al-Hallaj mungkin lebih sering disebut. Namun jauh sebelum mereka lahir, ada seorang perempuan dari Basrah, Irak, yang menyalakan api spiritual dengan ajaran tentang cinta Ilahi: Rabiah al-Adawiyah. Kehadirannya menembus batas gender, melampaui status sosial, bahkan menembus zaman. Rabiah adalah bukti bahwa spiritualitas sejati tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari hati yang terbakar oleh cinta.

Hidup dalam Kemiskinan, Tumbuh dalam Keikhlasan

Rabiah lahir sekitar tahun 717 M di kota Basrah. Ia terlahir dari keluarga miskin, bahkan dalam beberapa riwayat disebut anak keempat dari empat bersaudara. Setelah orang tuanya wafat, Rabiah hidup dalam keterbatasan hingga akhirnya dijual sebagai budak. Di tengah kerasnya hidup, ia menemukan makna terdalam: bahwa kebahagiaan bukanlah tentang kepemilikan dunia, melainkan kedekatan dengan Allah.

Kisah hidupnya yang penuh ujian justru menggemblengnya. Setelah bebas dari perbudakan, Rabiah memilih jalan zuhud --- menjauh dari kemewahan dunia, hidup dalam kesederhanaan, dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada ibadah.

Cinta Ilahi: Ajaran yang Menggetarkan Zaman


Salah satu ajaran terpenting Rabiah adalah mahabbah (cinta kepada Allah). Sebelum dirinya, ibadah sering dipahami sebagai usaha menghindari neraka atau meraih surga. Namun Rabiah menolak logika transaksional ini.

Ia pernah berdoa:

 "Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, haramkanlah itu bagiku. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi cinta kepada-Mu, maka jangan palingkan aku dari keindahan-Mu."



Doa itu mengguncang banyak hati. Ia mengajarkan bahwa puncak spiritual bukanlah rasa takut atau pamrih, melainkan cinta murni yang tulus kepada Sang Pencipta. Pandangan ini kemudian menjadi salah satu fondasi penting dalam pemikiran tasawuf.

Rabiah sebagai Figur Perempuan yang Revolusioner

Dalam dunia Islam abad ke-8, perempuan jarang diposisikan sebagai tokoh spiritual utama. Namun Rabiah justru menjadi rujukan bagi para ulama laki-laki. Banyak tokoh sufi, termasuk Hasan al-Bashri, disebut mendatangi Rabiah untuk berdialog. Kisah ini menunjukkan betapa tinggi kedudukannya, bukan karena status sosial, tetapi karena kedalaman rohani.

Dari sisi sosial-budaya, Rabiah adalah representasi perlawanan terhadap norma patriarki pada zamannya. Ia membuktikan bahwa perempuan bukan hanya objek pasif dalam sejarah, melainkan subjek aktif yang bisa menjadi sumber hikmah dan inspirasi.

Jejak dalam Budaya dan Sastra

Warisan Rabiah tidak berhenti pada masanya. Ia meninggalkan jejak mendalam dalam tradisi sastra dan budaya Islam. Banyak syair sufi tentang cinta Ilahi yang jelas terinspirasi darinya. Konsep mahabbah yang ia gaungkan memberi jalan bagi lahirnya karya-karya besar sufi setelahnya, termasuk Rumi yang hidup beberapa abad kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun