Karena al-Qur'an merupakan sumber hukum yang bersifat mutawatir, Imam Syafi'i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat membatalkan atau menggugurkan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an. Dalam pandangan mazhab Dzahiri, hadis ahad juga tidak bisa dijadikan dasar untuk mengecualikan ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, sebuah pandangan yang juga dianut oleh sebagian ulama Hambali.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah menetapkan beberapa syarat sebelum hadis ahad dapat dijadikan dasar hukum, yaitu:
- Jika seorang perawi meriwayatkan suatu hadis tetapi pendapatnya sendiri bertentangan dengan riwayat tersebut, maka riwayat tersebut dianggap telah mansukh (dihapus).
- Hadis tersebut tidak boleh berkaitan dengan masalah umum, karena perkara umum semestinya diriwayatkan oleh banyak orang.
- Isi hadis tidak boleh bertentangan dengan qiyas, yaitu analogi hukum berdasarkan nash yang sudah ada untuk kasus serupa dengan alasan penyebab yang sama.
Mazhab Maliki juga menetapkan bahwa hadis ahad tidak dapat diamalkan jika bertentangan dengan praktik masyarakat Madinah pada masa awal Islam. Sedangkan Imam Syafi'i lebih fleksibel, ia tidak mensyaratkan hadis harus masyhur, tidak bertentangan dengan kebiasaan penduduk Madinah, atau dengan qiyas, selama hadis tersebut memenuhi syarat keabsahan.
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa hadis ahad yang maqbul (diterima) wajib diamalkan dalam perkara hukum. Namun, pendapat berbeda muncul dalam ranah akidah. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih dan memberikan pengetahuan dapat dijadikan dalil dalam penetapan akidah. Sementara yang lain menolak, dengan alasan bahwa meskipun hadis ahad tersebut sahih, ia tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar keyakinan dalam masalah aqidah.
Ada pula pandangan yang lebih moderat, menyebutkan bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan dalil dalam masalah akidah selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau hadis yang lebih kuat. Beberapa ulama juga berpandangan bahwa hadis ahad hanya bisa digunakan untuk persoalan praktis seperti ibadah dan hukum-hukum jasmani, tetapi tidak dalam persoalan keyakinan. Di sisi lain, sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih dapat menjadi dasar akidah dan dapat dianggap sebagai dalil yang pasti (qath'i al-wurud). (Citra Aviva Umaira et al., 2024).
Daftar Pustaka
Citra Aviva Umaira, Elvira Rosiana Indah, Maiya Hasanatud Daroini, Fawwaz Fudhail Muchammad, & Shofil Fikri. (2024). Pembagian Hadits Dari Segi Kuantitas Sanad Berupa Hadits Mutawattir Dan Hadits Ahad. Jurnal Kajian Islam Dan Sosial Keagamaan, 1(4), 253--260.
Nazeli Rahmatina. (2023). Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitas (Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad). AL-MANBA, Jurnal Ilmiah Keislaman Dan Kemasyrakatan, 1, 20--28. http://makalahterlaris.blogspot.com/2016/12/hadits-ditinjau-dari-segi-kualitas-dan.html
Sholeh, J. (2022). Telaah pemetaan hadis berdasarkan kuantitas sanad. BAYAN LIN NAS: Jurnal Dakwah Islam, 6(1), 33--50.
Suhartawan, B., & Hasanah, M. (2022). Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad. DIRAYAH: Jurnal Ilmu Hadis, 3(1), 1--18.