Bayangkan Anda berdiri di tepi petak sawah zamrud di Bali, di mana bulir padi menari ditiup angin sepoi-sepoi. Di kejauhan, siluet Gunung Agung berdiri megah, sementara gemericik air dari sistem irigasi subak yang berusia berabad-abad mengalunkan melodi ketenangan. Pemandangan ini adalah esensi Bali yang memikat jutaan orang. Namun, jika Anda memutar pandangan sedikit saja, pemandangan itu mungkin terinterupsi oleh dinding beton sebuah vila baru yang sedang dibangun. Truk-truk pengangkut material meraung, memecah keheningan. Realitas inilah yang kini dihadapi Bali setiap hari: sebuah pertarungan senyap antara warisan adiluhung dan desakan pembangunan yang tak kenal henti.
Falsafah Tri Hita Karana yaitu hubungan yang harmoni dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam yang selama ini menjadi jiwa tata ruang Bali, kini berada di persimpangan jalan. Kemacetan yang mengular, tumpukan sampah di sudut-sudut surga, dan sawah yang kian menyusut bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan sebuah lonceng peringatan. Ini adalah krisis identitas yang menguji ketahanan sebuah budaya. Pertanyaannya bukan lagi apakah Bali akan berubah, tetapi bagaimana generasi mendatang akan mengelola perubahan tersebut. Jawabannya, mungkin tidak hanya terletak pada regulasi yang ketat, tetapi juga di dalam ruang-ruang kelas, tempat para penjaga masa depan Bali sedang dibentuk. Â Â
Topik ini diangkat berakar pada paradoks pembangunan Bali. Di satu sisi, pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi. Di sisi lain, ekspansinya yang masif justru menggerus aset utama yang dijualnya: keunikan lanskap budaya dan keharmonisan lingkungan. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukkan tren penurunan luas lahan sawah yang konsisten dari tahun ke tahun, tergantikan oleh hotel, vila, dan akomodasi wisata lainnya. Alih fungsi lahan ini bukan sekadar mengubah bentang alam, tetapi ia juga mencabut jantung sistem subak, warisan budaya leluhur serta dunia yang sempat diakui UNESCO pada tahun 2012. Sistem Subak merupakan manifestasi paling sempurna dari Tri Hita Karana. Ketika petak sawah hilang, organisasi sosial petani (pawongan) melemah, dan ritual di pura subak (parahyangan) kehilangan maknanya. Â Â
Secara hukum, pemerintah daerah telah berupaya mengkodifikasikan Tri Hita Karana ke dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun, implementasinya di lapangan seringkali tumpul menghadapi kekuatan modal dan kepentingan ekonomi jangka pendek. Pelanggaran sempadan kawasan suci, pembangunan di zona hijau, dan konflik pemanfaatan ruang di pesisir seperti Bingin, Canggu, dan Tanah Lot menjadi bukti adanya kesenjangan serius antara idealisme dalam regulasi dan realitas pembangunan. Krisis ini bukan hanya soal tata ruang, tetapi juga krisis sosial dan ekologis. Di sinilah pendidikan memegang peran strategis. Jika generasi muda tidak dibekali pemahaman kritis tentang nilai-nilai luhur dan tantangan nyata di sekitar mereka, mereka berisiko menjadi generasi yang terasing dari akarnya sendiri, mewarisi masalah tanpa memiliki perangkat untuk menyelesaikannya. Â Â
Pembahasan Utama: Menautkan Krisis Palemahan dengan Sains di Kelas
Krisis tata ruang di Bali pada hakikatnya adalah krisis pada pilar Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan alamnya). Pilar ini mengajarkan bahwa alam bukanlah objek eksploitasi, melainkan sumber kehidupan yang sakral dan harus dijaga keseimbangannya. Ketika pilar ini goyah, dampaknya merambat ke seluruh sendi kehidupan. Pembangunan vila yang tak terkendali tidak hanya menyusutkan lahan pertanian, tetapi juga merusak saluran irigasi, mencemari sumber air dengan limbah domestik, dan mengurangi daerah resapan air yang memicu banjir tahunan, keterbatasan lahan, dan harga tanah yang melambung tinggi membuat penerapan konsep arsitektur tradisional Bali berbasis THK menjadi sebuah kemewahan yang mustahil bagi banyak orang.
Fenomena pencemaran air, siklus hidrologi yang terganggu, keseimbangan ekosistem, dan daya dukung lingkungan adalah materi inti dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Di sinilah letak relevansi strategis untuk membawa krisis tata ruang dari "desa adat" ke "ruang kelas" SMP. Kurikulum Merdeka, dengan penekanannya pada pembelajaran kontekstual dan pengembangan karakter Profil Pelajar Pancasila, menyediakan wadah yang ideal untuk integrasi ini. Capaian Pembelajaran (CP) IPA Fase D (untuk SMP) secara eksplisit menargetkan agar siswa mampu berperan aktif dalam memelihara lingkungan, mengelola sumber daya alam dengan bijak, serta mengembangkan keterampilan proses inkuiri untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah melalui aksi nyata. Dengan demikian, mengkaji dampak alih fungsi lahan bukan lagi sekadar menghafal teori ekologi, melainkan sebuah investigasi ilmiah yang relevan dengan denyut kehidupan siswa. Â Â
Integrasi nilai-nilai THK ke dalam pembelajaran IPA dapat diwujudkan melalui pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang kontekstual dan aplikatif. Alih-alih hanya membaca tentang ekosistem di buku teks, siswa dapat diajak untuk menjadi "peneliti muda" di lingkungan mereka sendiri.
Studi Kasus Ekosistem Subak: Dalam materi Ekologi dan Keanekaragaman Hayati, guru dapat merancang proyek "Investigasi Kesehatan Subak di Sekitar Kita". Siswa secara berkelompok melakukan kunjungan lapangan ke sistem subak terdekat. Mereka tidak hanya mengamati, tetapi juga menerapkan metode ilmiah:
Observasi Palemahan: Siswa memetakan tata guna lahan di sekitar subak, mengidentifikasi bangunan-bangunan baru yang berpotensi mengganggu. Mereka dapat mengambil sampel air dari saluran irigasi untuk diuji tingkat keasamannya (pH) dan kejernihannya di laboratorium sekolah, menghubungkannya langsung dengan materi Zat dan Sifatnya.
Analisis Dampak: Siswa menganalisis bagaimana limbah dari vila atau perumahan dapat mengubah komposisi kimia air dan berdampak pada biota sawah (ikan, serangga air), sebuah penerapan nyata dari konsep Pencemaran Lingkungan.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!