Mohon tunggu...
Devi Putri Anggraini
Devi Putri Anggraini Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menari

Selanjutnya

Tutup

Diary

Seni menerima kekurangan

3 Oktober 2025   09:13 Diperbarui: 3 Oktober 2025   09:13 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Sejak dulu, saya selalu terobsesi untuk menjadi versi terbaik dari diri saya. Standar yang saya tetapkan sangat tinggi, dan saya percaya bahwa saya harus mencapai kesempurnaan dalam segala hal. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari sebuah kebenaran sederhana: kesempurnaan itu tidak pernah ada. Titik baliknya terjadi ketika saya mengalami kegagalan. Saya merasa sangat kecewa dan frustrasi dengan diri sendiri. Pikiran negatif terus menghantui, seolah-olah kegagalan ini adalah akhir dari segalanya. Namun, dari kekecewaan itu, muncullah sebuah pencerahan. Saya mulai memahami bahwa setiap manusia, termasuk saya, pasti memiliki kekurangan dan kelemahan.

          Pelajaran paling penting yang saya dapatkan adalah bahwa saya tidak perlu menjadi sempurna untuk diterima dan dihargai. Terkadang, kita sering merasa iri atau insecure saat melihat orang lain yang seolah-olah memiliki segalanya---mereka terlihat lebih cantik, lebih sukses, atau lebih "sempurna." Saya pun pernah merasakan hal itu. Tapi kemudian, saya menyadari satu hal: ketika kita memiliki sesuatu, belum tentu orang lain juga memilikinya. Begitu juga sebaliknya. Dari situlah, saya belajar untuk menerima diri saya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang saya miliki. Menerima kekurangan bukan berarti menyerah atau pasrah. Sebaliknya, itu adalah sebuah proses untuk menerima diri sendiri secara utuh, dengan segala sisi baik dan buruknya.

          Dengan menerima kekurangan, saya merasa lebih bebas dan bahagia. Saya tidak lagi terjebak dalam siklus mengejar kesempurnaan yang tidak realistis. Kini, saya bisa fokus pada hal-hal yang jauh lebih penting: menjadi versi terbaik dari diri saya. Versi terbaik ini bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang membahagiakan diri sendiri terlebih dahulu, dan kemudian membahagiakan orang tua saya. Saya tahu, perjalanan ini mungkin akan panjang dan butuh waktu, tapi saya percaya saya kuat dan tidak boleh menyerah. Seni menerima kekurangan adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Saya akan terus belajar, tumbuh, dan tentu saja, saya akan selalu memiliki kekurangan. Namun, saya siap untuk menghadapinya. Kita tidak perlu merasa down atau buruk hanya karena kita tidak dihargai oleh orang lain. Kita harus bangga menjadi diri sendiri, karena kekuatan dan keunikan yang kita miliki belum tentu dimiliki oleh orang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun