Mohon tunggu...
Devi Puspita
Devi Puspita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bisa bila ditekuni

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hati-hati Belanja Online!

29 Maret 2021   17:35 Diperbarui: 29 Maret 2021   17:38 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Culture jamming muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai bentuk baru dari politik representasi postmodern. Culture jamming merupakan usaha perlawanan atas budaya konsumerisme. 

Culture jamming berusaha untuk menumbangkan praktik semiotika media khususnya periklanan dengan mengubah pesan menjadi anti-pesan. 

Usaha yang dilakukan oleh para jammers (sebutan bagi orang yang melakukan culture jam)  adalah dengan melakukan rekonstruksi visualisasi logo, membuat pernyataan ataupun produk untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait konsumsi, dan praktik sosial yang tidak adil (Baker & Jane, 2016).

Dalam praktiknya, Jammers seringkali mengadopsi salah satu pesan konsumerisme kemudian dikemas menjadi pesan baru yang mengkritik pesan sebelumnya. Lantas, bagaimana keterkaitan culture jamming dan meme di atas? 

Culture Jamming pada Meme

Kembali lagi ke kehadiran platform digital. Jammers juga memanfaatkan platform digital untuk menciptakan pesan kritik terhadap budaya konsumerisme dan kaum kapitalis. Salah satu contohnya adalah meme.

Jammers mempercayai bahwa meme dapat menjadi pembelajaran kritis publik meski masih berada dalam ranah dunia maya (digital). Mungkin sering Anda temui, meme merupakan praktik penyampaian pesan melalui gambar yang disertai tulisan yang dibuat secara kreatif dan terkadang nyeleneh untuk mengekspresikan perasaan dan tujuan pembuatannya melalui media digital.

Meme tersebut dapat kita kategorikan sebagai produk dari praktik para Jammers. Hal ini dilihat dari pengolahan pesan yang dilakukan, bertujuan untuk mengkritik para penjual (re: kaum kapitalis) pada e-commerce (dalam hal ini yaitu Shopee yang identik dengan promo gratis ongkos kirim) yang terlihat menjualkan koper mainan, namun dengan pengambilan foto seperti layaknya koper asli (sebelah kiri).

Koper seharusnya merupakan barang yang dapat digunakan untuk berpergian, mengisi barang bawaan, sedangkan ternyata yang dijual adalah koper mainan yang tidak sesuai dengan penggunaan koper seharusnya. Hal ini juga tidak disampaikan pada deskripsi produk. Sehingga menimbulkan salah kaprah pada pembeli. 

Kemudian Jammers menggabungkan foto produk (gambar kiri) dengan testimoni pembeli (gambar kanan) dan kemudian secara langsung ataupun tidak membentuk pesan "Hati-hati kalau belanja online. Jangan karena harga murah, lalu seenaknya melakukan pembelian tanpa mengetahui detil dari produk tersebut"

Kritik yang secara tidak langsung juga disampaikan oleh Jammers melalui meme kepada masyarakat yang erat dengan budaya konsumerisme. Dimana, terkadang masyarakat sangat mudah terkecoh oleh pesan-pesan iklan dan melakukan pembelian-pembelian secara tergesa-gesa tanpa memeriksa detil produk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun