Mahasiswa tak boleh menjadi pengekor budaya instan. Ia harus menjadi mercusuar yang menuntun, bukan cermin yang memantul tanpa arah. Untuk itu, ia mesti menjadi jembatan antara nilai dan masa depan. Jembatan yang tak hanya menyambungkan teori ke praktik, tapi juga menyatukan hati dengan akal, kepentingan dengan kemaslahatan.
Maka latihlah kepekaanmu hari ini, bukan agar engkau menguasai segalanya, tapi agar engkau peduli pada sesuatu. Pelajarilah kehidupan, bukan hanya dari diktat, tapi dari desah napas orang kecil. Dengarkan suara tukang ojek, resapi kisah pedagang kaki lima, dan hormatilah guru honorer yang tak berhenti mengajar meski dihantam nasib.
Asahlah rasa. Ulurkan tangan. Ayunkan langkah ke jalan yang kadang sunyi tapi benar. Sebab perubahan tidak menanti. Ia lahir dari keberanian untuk memulai, dari ketulusan untuk hadir tanpa pamrih. Seorang agen perubahan tidak duduk menunggu giliran. Ia berdiri dan menciptakan gelombangnya sendiri.
Kelak, saat nama Anda terpajang dalam ijazah, masyarakat takkan sibuk menanyakan judul skripsimu. Mereka tak akan mengingat peringkat IPK. Tapi mereka akan mengingat bagaimana engkau datang, bagaimana engkau tertawa bersama anak-anak mereka, bagaimana engkau bersedia menggotong air atau menghibur hati yang resah. Mereka akan mengingat jejak, bukan gelar. Mengingat makna, bukan posisi.
Jadilah mahasiswa yang bukan hanya mengejar kecerdasan, tapi juga membawakan cahaya. Jadilah mahasiswa yang tidak hanya cakap dalam akademik, tapi juga hangat dalam kemanusiaan.
Sebab dunia ini telah penuh oleh yang pandai, tapi masih haus akan yang peduli. Dan di tangan mahasiswa, harap terakhir sebuah generasi, terletak kemungkinan arah baru yang lebih manusiawi. Lalu engkau pun bertanya: "Apa yang bisa kulakukan untuk perubahan yang begitu luas?" Dan jawabannya begitu sederhana: mulai dari apa yang ada padamu. Mulai dari yang kecil. Mulai dari sekarang.
Ucapkan salam dengan hati. Hargai waktu dosenmu. Dengarkan keluhan rakyat tanpa menggurui. Jangan malu menjadi yang paling kotor saat kerja bakti. Jangan malu menyapu halaman yang tak kau injak. Karena itulah benih sejati perubahan: hadir, bukan hanya terlihat.
Dan ketika usia menua dan engkau menoleh ke belakang, engkau tak akan mengukur hidup dari jabatan atau harta, tapi dari satu pertanyaan: "Apakah aku pernah benar-benar hidup untuk sesama?"
Jika jawabannya ya, maka engkau telah menjadi mahasiswa sejati. Mahasiswa di batas harapan dan deras zaman, bukan hanya pembaca masa depan, tetapi penulisnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI